Dibayangi Covid-19 Hingga Isu Revisi UU BI, IHSG Diprediksi Melemah Hari Ini
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 7 September 2020 08:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee memperkirakan pasar saham berpeluang konsolidasi melemah pada pekan ini. Hal tersebut salah satunya diakibatkan oleh koreksi pada pasar saham dunia akibat koreksi saham teknologi. "IHSG bergerak dengan support di level 5.188 sampai 5.059 dan resistance di level 5.337 sampai 5.381," ujar dia dalam keterangan tertulis, Ahad, 6 September 2020.
Hans mengatakan kondisi tersebut juga ditambah oleh sentimen negatif dari kasus pandemi covid-19 yang belum pasti kapan berakhir, prospek ekonomi yang masih suram, serta rumor revisi Undang-undang Bank Indonesia. "Mengubah pondasi sektor keuangan ketika badai krisis pandemi Covid-19 belum berakhir menimbulkan sentimen negatif bagi pasar keuangan," ujar Hans.
Secara rinci, Hans memaparkan isu yang membayangi pergerakan pasar modal pada pekan ini. Pertama, aksi jual di saham teknologi akibat kekhawatiran valuasi yang terlalu tinggi membuat pasar saham tertekan turun.
Indeks Nasdaq telah naik lebih dari 80 persen sejak posisi terendah Maret 2020, sedangkan indeks S&P 500 dan Dow Jones juga telah naik lebih dari 60 persen. Pada Agustus, Indeks Nasdaq naik 9,6 persen dan merupakan kinerja bulanan terbaik sejak tahun 2000. Sedangkan S&P 500 naik 7,6 persen dan Dow 7 persen selama bulan Agustus.
Hans mengatakan, ini merupakan kinerja 30 tahun terbaik untuk kedua indeks. "Kami melihat saham teknologi sudah naik terlalu banyak akibat harapan perolehan keuntungan akibat dampak pandemi. Peluang koreksi saham teknologi masih mungkin berlanjut," ujarnya.
Ihwal ketidakpastian akibat Covid-19, Hans mengatakan sampai saat ini data menunjukkan penyebaran penyakit tersebut di dalam negeri masih terus menanjak. Hal tersebut tampak dari data jumlah kasus total, jumlah kasus baru harian, serta jumlah kasus aktif. Angka kematian pun hingga kini masih terus naik. Meskipun demikian, adanya kenaikan jumlah pasien pulih juga menjadi sentimen positif penyeimbang di pasar modal.
<!--more-->
Di sisi lain, kata dia, terlihat terjadi perlambatan ekonomi di Agustus 2020 di tandai dengan deflasi sebesar 0,05 persen. Angka inflasi secara year to date menjadi 0.93 persen dan inflasi tahunan atau year on year menjadi 1,32 persen. "Pandemi Covid-19 telah memukul daya beli masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa turun," ujar Hans.
Hal ini berdampak pada peluang konsumsi masyarakat turun, sehingga berpeluang membuat pertumbuhan ekonomi di Kuartal III kembali negatif. Ia mengatakan pasar berharap pemerintah bisa mengefektifkan belanjanya sehingga diharapkan mampu membawa ekonomi keluar dari resesi pada kuartal IV. "Belanja fiskal menjadi satu-satunya harapan pemulihan ekonomi saat ini."
Selanjutnya, Hans mengatakan kabar mengenai rencana revisi Undang-undang tenang Bank Indonesia menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan. "Memang belum dapat dipastikan kabar ini tetapi menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan dan membuat pelaku pasar menjadi berhati-hati," ujarnya.
Hans berujar para pelaku pasar mewaspadai isu tersebut lantaran dengan kebijakan itu Bank Indonesia terancam tidak independen lagi karena akan berada di bawah Dewan Moneter yang dikepalai Menteri Keuangan.
Kondisi tersebut, kata dia, dikhawatirkan akan memengaruhi kebijakan moneter yang selama ini digawangi Bank Indonesia. Termasuk dengan adanya kebijakan berbagi beban antara pemerintah dan bank sentral yang diperpanjang sampai 2022.
"Lalu isu mengenai Bank Indonesia yang selama ini lebih fokus pada stabilitas ekonomi dengan menjaga inflasi, mendapatkan tugas tambahan untuk mendukung penciptaan lapangan kerja. Belum lagi rumor pengawasan sektor keuangan tidak akan terintegrasi lagi menambah ketidakpastian pasar," ujar Hans.
Baca: Saham Big Caps Berjatuhan, IHSG Anjlok 2,02 Persen