Pulihkan Perekonomian, Pemerintah Diminta Tak Hanya Tambah Utang dan Stimulus

Jumat, 14 Agustus 2020 05:25 WIB

Petugas menata paket bantuan sosial untuk keluarga yang terdampak perekonomiannya akibat virus Corona di gudang penyimpanan di Stadion Patriot Chandrabaga, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 20 April 2020. Untuk tahap pertama, Pemerintah Kota Bekasi akan mendistribusikan 20 ribu paket bantuan yang akan disalurkan melalui kelurahan. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

TEMPO.CO, Jakarta - Penasehat senior di ASEAN International Advocacy Shanti Shamdasani mengatakan pemerintah tidak cukup hanya menarik utang dan memberikan stimulus fiskal semata untuk menghadapi pandemi Covid-19. Menurut dia, sudah saatnya bagi pemerintah untuk memikirkan opsi mencetak uang baru.

"Sepertinya sudah saatnya untuk lndonesia melakukan pencetakan uang," kata Shanti yang juga Presiden ASEAN International Advocacy and Consultancy ini, dalam Forum Diskusi Virtual Denpasar 12 pada Kamis, 13 Agustus 2020.

Shinta menjelaskan setidaknya dua alasan mengapa utang dan stimulus saja tidak cukup, terutama untuk memulihkan ekonomi yang sudah tumbuh minus 5,32 persen. Pertama soal utang, ia mengutip artikel di harian The Washington Post yang terbit pada 20 Mei 2020 berjudul "Why Indonesia's QE Is Terrifying."

Dalam artikel tersebut, kata Shinta, Quantitative Easing (QE) yang dilakukan Indonesia ternyata benar-benar out of the box, tidak pernah terjadi dalam sejarah di Asia.

April 2020, Indonesia menawarkan utang baru senilai US$ 4,3 miliar lewat Pandemic Bond, bertenor 50 tahun. Obligasi ini disebut sebagai surat utang dengan tenor dollar terlama di Asia. "Itu tidak pernah terjadi," kata dia.

Advertising
Advertising

Lalu, PT Hutama Karya (Persero) juga menjual utang senilai US$ 600 juta dengan tenor 10 tahun dan dijamin sepenuhnya dijamin pemerintah. "Juga pertama kali," ujar Shinta. Obligasi Hutama Karya ini dirilis 5 Mei 2020.

Akan tetapi, investor asing masih wait and see. Sebab, mereka melihat dalam dua bulan saja, yield untuk surat utang 10 tahun dengan denominasi rupiah saja baru 5 persen. Investor asing pun, kata Shanti, melihat apakah rupiah di-hegde (lindung nilai) atau tidak. Sehingga, mereka pun masih memilih untuk menunggu terlebih dahulu (sitting on the sidelines).

Di sisi lain, pemerintah juga menerbitkan berbagai stimulus fiskal. Hanya saja masih ada masalah dalam penyalurannya dan ketepatan sasaran. "Kalau stimulus yang diturunkan tidak sampai ke bawah, akhir tahun bisa social unrest, karena mereka (wong cilik) menilai hanya untuk dua tiga orang saja," kata dia.

<!--more-->

Proyek padat karya sebenarnya jadi salah satu pilihan karena menyerap tenaga kerja dan meningkatkan konsumsi. Shanti pun setuju jika program ini harus lebih banyak digalakkan. Sehingga dari berbagai kondisi ini, meneruskan stimulus, mendorong program padat karya, ada kebutuhan akan uang untuk mendanainya.

Oleh sebab itu, Wakil Ketua Komite Permanen Hubungan Internasional, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini menilai opsi pencetakan uang bisa diambil pemerintah. Shanti menyadari ada dampak yang akan dilahirkan dari mencetak uang, salah satunya adalaH inflasi.

Akan tetapi, ia meyakini pemerintah sudah memilik kemampuan untuk mengendalikannya. "Kita terlatih me-manage inflasi, tapi kita tidak terlatih untuk me-dampak yans minus 5,32 persen (pertumbuhan ekonomi) dan kemungkinan akan turun lagi," kata dia.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Badan Anggaran DPR MH Said Abdullah yang menilai Bank Indonesia (BI) bisa mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.

Lalu, Mantan Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gita Wirjawan juga menyarankan pemerintah menyiapkan setidaknya Rp 1.600 triliun untuk menangani Covid-19 dalam enam bulan ke depan. Untuk memenuhi biaya tersebut, ia mengusulkan BI untuk melakukan pelonggaran kuantitatif easing alias mencetak uang untuk mengguyur masyarakat.

"Ujung-ujungnya, ini duitnya dari mana? Mau gak mau harus dicetak, itu solusi dari saya," ujar Gita kepada Tempo, Rabu, 15 April 2020.

Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan lembaganya tidak akan melakukan pencetakan uang baru di luar mekanisme lazim. "Ini mohon maaf kebijakan itu tidak lazim dengan kebijakan moneter yang prudent. Agar masyarakat paham, mohon pandangan itu tidak lagi disampaikan. Pandangan itu tidak akan dilakukan di BI," kata Perry, Rabu, 6 Mei 2020.

Baca juga: Defisit Anggaran 2021 Melebar, Sri Mulyani: Rasio Utang Bisa Mendekati 40 Persen

Berita terkait

Kemendag Berencana Selesaikan Utang Selisih Harga Minyak Goreng Bulan Depan

6 hari lalu

Kemendag Berencana Selesaikan Utang Selisih Harga Minyak Goreng Bulan Depan

Isy Karim mengatakan Kemendag akan memperjuangkan utang selisih harga minyak goreng yang tersendat sejak awal 2022.

Baca Selengkapnya

Program Makan Siang Gratis Prabowo Masuk RAPBN 2025, Ekonom Ini Ingatkan Anggaran Bakal Sangat Tertekan

7 hari lalu

Program Makan Siang Gratis Prabowo Masuk RAPBN 2025, Ekonom Ini Ingatkan Anggaran Bakal Sangat Tertekan

Direktur Ideas menanggapi rencana Presiden Jokowi membahas program yang diusung Prabowo-Gibran dalam RAPBN 2025.

Baca Selengkapnya

Kinerja Keuangan Dinilai Baik, Bank DBS Raih 2 Peringkat dari Fitch Ratings Indonesia

8 hari lalu

Kinerja Keuangan Dinilai Baik, Bank DBS Raih 2 Peringkat dari Fitch Ratings Indonesia

Bank DBS Indonesia meraih peringkat AAA National Long-Term Rating dan National Short-Term Rating of F1+ dari Fitch Ratings Indonesia atas kinerja keuangan yang baik.

Baca Selengkapnya

Dagang Sapi Kabinet Prabowo

8 hari lalu

Dagang Sapi Kabinet Prabowo

Partai politik pendukung Prabowo-Gibran dalam pemilihan presiden mendapat jatah menteri berbeda-beda di kabinet Prabowo mendatang.

Baca Selengkapnya

Penjelasan Kemenkeu soal Prediksi Kenaikan Rasio Utang jadi 40 Persen pada 2025

9 hari lalu

Penjelasan Kemenkeu soal Prediksi Kenaikan Rasio Utang jadi 40 Persen pada 2025

Kemenkeu merespons soal kenaikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2025.

Baca Selengkapnya

Terkini: OJK Beri Tips Kelola Keuangan untuk Emak-emak, Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah Teknologi Cina di Kalimantan Tengah

10 hari lalu

Terkini: OJK Beri Tips Kelola Keuangan untuk Emak-emak, Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah Teknologi Cina di Kalimantan Tengah

Kepala Eksekutif OJK Friderica Widyasari Dewi memberikan sejumlah tips yang dapat diterapkan oleh ibu-ibu dalam menyikapi isi pelemahan rupiah.

Baca Selengkapnya

PT PundiKas Indonesia Bantah Telah Menjebak dan Meneror Nasabah karena Pinjol

10 hari lalu

PT PundiKas Indonesia Bantah Telah Menjebak dan Meneror Nasabah karena Pinjol

PT PundiKas Indonesia, layanan pinjaman dana online atau pinjol, membantah institusinya telah menjebak nasabah dengan mentransfer tanpa persetujuan.

Baca Selengkapnya

Seorang Istri jadi Korban KDRT Suaminya Karena Tak Berikan Data KTP Untuk Pinjol

11 hari lalu

Seorang Istri jadi Korban KDRT Suaminya Karena Tak Berikan Data KTP Untuk Pinjol

Seorang menjadi korban KDRT karena tidak memberikan data KTP untuk pinjaman online.

Baca Selengkapnya

Utang Luar Negeri RI Tercatat Rp USD 407,3 Miliar, Banyak Pembiayaan Proyek Pemerintah

14 hari lalu

Utang Luar Negeri RI Tercatat Rp USD 407,3 Miliar, Banyak Pembiayaan Proyek Pemerintah

BI mencatat jumlah utang luar negeri Indonesia jumlahnya naik 1,4 persen secara tahunan.

Baca Selengkapnya

Tersinggung Tak Diberi Utang, Pemuda di Kembangan Bakar Warung Rokok

26 hari lalu

Tersinggung Tak Diberi Utang, Pemuda di Kembangan Bakar Warung Rokok

Tersinggung tak boleh utang rokok, pelaku membakar warung dengan melempar botol bensin dan tisu yang telah dibakar.

Baca Selengkapnya