Lapindo Ingin Bayar Utang Pakai Aset, Bagaimana Respons Kemenkeu?
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 26 Juli 2020 13:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan angkat bicara menanggapi tawaran dari perusahaan milik Aburizal Bakrie, yakni Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya, yang ingin melunasi utang dengan aset tanah.
Saat ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau DJKN Kementerian Keuangan mengaku masih akan melihat nilai aset tanah tersebut. "Kalau aset yang ditawarkan tidak bisa dinilai, kami akan meneruskan tagih pembayaran tunai," kata Direktur Jenderal DJKN Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta saat dihubungi Tempo, Ahad, 26 Juli 2020.
Pemerintah mencatat total utang perusahaan Lapindo Brantas dan Minarak Lapindo Jaya hingga akhir 2019 sebesar Rp 1,9 triliun. Utang itu terdiri atas utang pokok senilai Rp 773,38 miliar, denda senilai Rp 981,42 miliar, dan bunga Rp 163,95 miliar.
Terakhir, Lapindo tercatat baru membayar utang kepada pemerintah senilai Rp 5 miliar. Utang tersebut terkait dana talangan yang digelontorkan perseroan untuk warga yang terdampak semburan lumpur Lapindo.
Isa mengatakan pemerintah masih berpikir untuk menerima usulan karena penyelesaian aset atau asset settlement yang ditawarkan adalah aset di wilayah terdampak tertimbun lumpur di Sidoarjo yang belum bisa ditentukan nilainya.
<!--more-->
Kementerian Keuangan pun akan lebih merundingkannya dengan pihak-pihak terkait seperti Kejaksaan Agung, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Kami akan berdiskusi (dengan MAPPI, BPKP, dan Kejaksaan Agung) dalam 1-2 minggu ke depan," tutur Isa. Pihak-pihak tersebut akan memberikan masukan kepada Kementerian mengenai aset Lapindo.
Tahun lalu, Lapindo telah mengupayakan pembayaran utang lewat pengalihan aset perusahaan di Sidoarjo. Perusahaan mengupayakan sertifikasi tanah di area terdampak. Namun, kala itu, baru sekitar 44 hektare yang rampung. Kesulitan melakukan sertifikasi muncul karena banyak tanah yang masih tertutup lumpur.
Perusahaan juga melakukan sertifikasi pada lahan seluas 45 hektare yang sebelumnya merupakan Perumnas Tanggulangin Sejahtera. Sertifikat dari sejumlah aset yang telah jelas kedudukan hukumnya telah diserahkan kepada Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, yang berada di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
FAJAR PEBRIANTO