KKP Klarifikasi Pemberian Izin Ekspor Lobster untuk 31 Perusahaan
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 6 Juli 2020 09:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklarifikasi laporan Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2020 yang menyinggung soal pemberian izin ekspor benih lobster alias benur kepada perusahaan-perusahaan yang diduga terafiliasi dengan kader partai politik. Dalam keterangannya, Tim Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP mengatakan penerbitan izin itu dilakukan oleh tim yang dibentuk Kementerian.
“Tim tersebut melakukan pengawalan proses penilaian kelayakan sebuah badan usaha menjadi pembudidaya lobster dan calon eksportir BBL (benur) sesuai dengan kriteria dan mekanisme yang disusun yang tertuang dalam Juknis (petunjuk teknis),” tutur tim melalui keterangan tertulisnya, Senin petang, 6 Juli 2020.
Adapun saat ini terdapat 31 perusahaan yang telah mengajukan izin ekspor. Sebanyak 26 entitas di antaranya telah diumumkan oleh Kementerian.
Terkait proses pemberian izin itu, tim menerangkan calon eksportir wajib memenuhi dua hal yang disyaratkan Kementrian. Pertama, mereka harus membuktikan adanya budidaya ikan yang baik. Kedua, eksportir mesti melepasliarkan benih lobster alam sebanyak 2 persen dan dibuktikan dengan berita acara yang diterbitkan dinas perikanan kabupaten atau kota setempat.
Selanjutnya, tim menyatakan kebijakan ekspor telah dikaji melalui konsultasi publik sejak November 2019 dan dikoordinasikan oleh Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2). KP2 merupakan kelompok eksternal yang dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang beranggotakan pakar kelautan dan perikanan, pakar lingkungan, pakar hukum, hingga perwakilan dunia usaha.
“Selain melakukan kajian dan konsultasi publik dengan berbagai pihak, KKP telah melakukan studi banding khusus untuk lobster ke Tasmania, Australia pada Februari 2020 dan melakukan serangkaian diskusi dengan para pakar di Universitas Tasmania,” ujar tim.
Kemudian, Kementerian menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 yang isinya juga menerbitkan kuota benur untuk budidaya. Tim mengklaim kebijakan ini sekaligus akan mendorong berkembangnya usaha budidaya lobster di Tanah Air dan menciptakan efek domino bagi penyedia pakan.
Ihwal penetapan harga jual, Kementerian menyebut telah mengatur harga terendah dan tertinggi guna memberikan jaminan kesejahteraan bagi nelayan dan pembudidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap juga dinyatakan sudah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 48 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Benih Bening Lobster (Puerulus) di Wilayah WPPNRI.
Beleid ini mengatur mengenai penetapan kuota benur, pendaftaran eksportir, waktu pengeluaran benur, penetapan nelayan dan lokasi penangkapan, pendataan hasil tangkapan, hingga penerbitan surat keterangan asal benih atau SKAB dan penentuan harga patokan terendah.
Sebelumnya, Majalah Tempo mengulas sejumlah fakta di balik giat ekspor benur lobster. Dalam kegiatan pembukaan ekspor benih lobster, KKP dilaporkan telah memberikan izin kepada 30 perusahaan yang terdiri atas 25 perseroan terbatas atau PT, tiga persekutuan komanditer alias CV, dan dua perusahaan berbentuk usaha dagang atau UD. Penelusuran Tempo menemukan 25 perusahaan itu baru dibentuk dalam waktu 2-3 bulan ke belakang berdasarkan akta.
Di samping itu, sejumlah kader partai diduga menjadi aktor di belakang perusahaan-perusahaan ini. Pada PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama. Bahtiar merupakan Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra.
Tiga eksportir lainnya juga terafiliasi dengan partai yang sama. Ada pula nama Fahri Hamzah, mantan Wakil Ketua DPR, sebagai pemegang saham salah satu perusahaan dan tertera nama lain dari Partai Golkar. Muncul juga nama Buntaran, pegawai negeri sipil (PNS) yang dipecat pada era Menteri Susi Pudjiastuti. Dia terlibat perkara penyelundupan benih dan pencucian uang sehingga divonis 10 tahun penjara.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | MAJALAH TEMPO