BUMN: Dana Talangan untuk Garuda Bukan dari APBN
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rahma Tri
Selasa, 2 Juni 2020 14:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan bahwa skema dana talangan untuk PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. tidak melibatkan pinjaman langsung dari pemerintah.
“Dana talangan ini bukan APBN, tapi dia seperti pinjaman yang diberikan kepada Garuda, dan Garuda sedang mencari siapa yang bisa memberikan dana Rp 8,5 triliun tersebut. Jadi, pemerintah fungsinya hanya sebagai penjamin, bukan pemberi dana,” kata Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga di Jakarta, Selasa 2 Juni 2020.
Arya menjelaskan, Garuda akan mendapatkan bantuan dana talangan sebesar Rp8,5 triliun melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam hal ini, pemerintah berperan sebagai penjamin dalam pemberian dana talangan tersebut.
Dia juga menegaskan bahwa Garuda tidak akan mendapatkan dana dari pemerintah yang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, dana dari APBN hanya akan diberikan kepada BUMN yang dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah.
Dalam konteks Garuda, pemerintah hanya memiliki sekitar 60 persen saham perusahaan. Adapun sisanya, 25 persen dimiliki oleh PT Trans Airways dan sisanya dipegang oleh masyarakat. Dana ini juga tidak akan digunakan untuk membayar utang perseroan.
Emiten berkode saham GIAA itu memang memiliki utang yang akan jatuh tempo berjumlah cukup besar, US$ 500 juta. Namun, dana talagan kali ini akan digunakan untuk modal kerja.
Adapun, utang US$ 500 juta yang bersumber dari penerbitan sukuk global itu tengah dalam proses restrukturisasi. Perseroan masih menunggu persetujuan para pemegang sukuk untuk memperpanjang masa pembayaran pokok utang.
“Jadi, bukan dana dari APBN yang masuk ke Garuda, tapi menjamin Garuda saat mengambil pinjaman. Sehingga, kalau dikatakan dana itu akan digunakan untuk bayar utang, itu tidak bisa, karena memang tidak ada uang yang masuk ke Garuda,” kata Arya Sinulingga.
<!--more-->
Besaran dana talangan sebesar Rp 8,5 triliun yang dialokasikan ini disesuaikan dengan usulan dari Garuda. Selain itu, karena bersifat sebagai penjamin, fasilitas ini memiliki tenggat waktu yang lebih longgar. “Itu kan penjaminan, diusahakan tahun ini, kalau dapatnya tahun depan. Ini kan bukan duit, jadi ya tidak hilang. Kalau dapatnya tahun depan dijaminkan lagi tahun depan,” Arya menambahkan.
Sementara itu, pencarian pinjaman diserahkan kepada masing-masing perusahaan BUMN. Menurutnya, pemerintah tidak membatasi kriteria tertentu untuk pembiayaan yang dapat dijaminkan oleh pemerintah.
“Yang penting dia pinjam harus dibalikkan. Mau pakai perbankan mau pakai SMI, yang penting dia minjam dan dikembalikan bunganya. Kalau dana talangan itu dananya dikembalikan, pemerintah hanya menjamin,” jelasnya.
Sebelumnya, ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengkritik besarnya stimulus yang dialokasikan pemerintah dalam APBN untuk perusahaan BUMN di tengah pandemi virus corona. Musababnya, anggaran itu lebih besar ketimbang bantuan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor yang paling terdampak, yakni UMKM.
Berdasarkan data yang dihimpun Faisal Basri, saat ini pemerintah berencana mengucurkan anggaran sebesar Rp 152,15 triliun untuk BUMN. Sebanyak Rp 25,27 triliun digelontorkan untuk lima perusahaan pelat merah dalam bentuk dana penyertaan modal pemerintah (PMN). Di antaranya PLN, Hutama Karya, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Permodalan Nasional Madani, dan Pengembangan Pariwisata Indonesia. Sedangkan Rp 94 triliun lainnya diberikan sebagai bentuk pembayaran kompensasi untuk Pertamina, PLN, dan Bulog. Selanjutnya, dana talangan investasi senilai Rp 32 triliun diberikan kepada Bulog, Garuda Indonesia, PTPN, PT Kereta Api Indonesia, Krakatau Steel, dan Perum Perumnas dengan besaran yang bervariasi.
"Ini konsekuensi buruknya praktik fiskal yang harus dicermati. Jadi, APBN ini hanya digunakan untuk menopang proyek strategis nasional yang di belakangnya adalah kelompok kepentingan. Kalau proyek enggak jalan, mereka enggak dapat tip," tuturnya.
BISNIS | FRANCISCA CHRISTY ROSANA