Mengintip Aliran Duit Investasi Nasabah Kaya
Reporter
Ali Akhmad Noor Hidayat
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Minggu, 10 November 2019 20:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Performa produk pasar keuangan tahun ini tertekan akibat ketidakpastian ekonomi global. Perang dagang Amerika Serikat dengan Cina, rendahnya harga komoditas dan melambatnya pertumbuhan ekonomi global menjadi sentimen negatif bagi pasar saham di Indonesia. Sejak awal tahun sampai November 2019, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan indeks reksa dana saham masing-masing minus 0,47 persen dan 9,4 persen.
Merahnya portofolio investasi saham, membuat surat utang negara menjadi incaran, khususnya investor asing. Imbal hasilnya tetap dan dijamin oleh negara. Pada tanggal 13 September lalu, asing menguasai 63 persen (Rp 1.022 triliun) surat utang negara dari jumlah yang beredar Rp 2.651 triliun. Dengan demikian, porsi kepemilikan investor asing naik 14,4 persen sejak akhir 2018.
Portofolio nasabah prioritas, (sebutan untuk nasabah yang memiliki aset di atas Rp 1 miliar di perbankan) juga mengalami kemiripan. Divisi wealth management perbankan mencatat pertumbuhan minat nasabah terhadap surat utang atau obligasi. Direktur Consumer Banking Mandiri Hery Gunardi menuturkan banyak nasabah mengalihkan pilihan instrumen investasi pada beberapa produk surat utang atau reksa dana berbasis surat utang (obligasi). Per September 2019, komposisi dana kelolaan untuk surat berharga naik 14 persen.
"Penawaran ORI (obligasi ritel indonesia) dan sukuk perdana yang cukup banyak dari pemerintah selama tahun 2019 telah meningkatkan basis jumlah nasabah dan volume dana kelolaan dalam bentuk surat berharga," kata dia kepada Tempo, akhir pekan lalu. Kondisi ekonomi global, kata dia, mempengaruhi pengelolaan aset sehingga mengatur ulang isi portofolio investasi menjadi pilihan nasabah. Pemilihan instrumen investasi dalam layanan wealth management bukan dari bank melainkan opsi dari nasabah.
Hingga September lalu, pembelian surat utang negara dalam layanan wealth management Bank Commonwealth juga positif. Terlihat dari pendapatan dari transaksi obligasi, reksa dana surat berharga dan produk reksa dana lain yang tumbuh 30 persen. "Biasanya 20 persen," kata Ivan Jaya Head of Wealth Management & Client Growth Bank Commonwealth. Tingginya minat nasabah terhadap produk surat utang membuat Bank Commonwealth berencana menjual obligasi tenor panjang pada triwulan pertama tahun depan.
<!--more-->
Bank Central Asia (BCA) pun sedang menyiapkan secondary market (pasar sekunder) dari produk obligasi melalui aplikasi Wealth Management yang disebut Welma. Di pasar sekunder ini nantinya BCA memfasilitasi nasabah yang ingin menjual lagi obligasi yang sudah dibeli. Saat ini BCA baru melayani transaksi obligasi di pasar perdana. Nasabah prioritas, kata Corporate Secretary BCA Raymon Yonarto, mayoritas masih memilih instrumen investasi yang konservatif. "Misalnya obligasi ritel atau yang bersifat fixed income (reksa dana berbasis obligasi)," kata dia.
Sudah lama pemerintah menerbitkan surat berharga ritel, yakni sejak tahun 2006. Pertama kali yang diluncurkan adalah instrumen Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI001. Kala itu, penjualan ORI kepada masyarakat dilakukan secara manual, dengan dibantu Agen Penjual yang terdiri dari bank dan Perusahaan efek. Saat transaksi, umumnya bank dan perusahaan efek mendampingi nasabah dalam mengisi form pembelian.
Kemudian 12 tahun setelahnya, yaitu tahun 2018, pemerintah membuat inovasi dengan menjual surat berharga negara ritel secara online. Masyarakat baru dapat membeli surat berharga ritel melalui platform yang disediakan Mitra Distribusi yang sudah menyatu dengan sistem Kementerian Keuangan. Setahun setelah peluncuran penjualan secara online, kata Direktur Surat Utang Negara Ditjen PPR Kemenkeu Loto Srinaita Ginting, jumlah investor ritel baru meningkat lebih dari 100 persen.
Alih-alih fokus meningkatkan volume pembelian surat berharga, pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan jumlah investor individu. Pemerintah, kata Loto, ingin memperbesar partisipasi masyarakat dalam kepemilikan surat berharga negara. Dia berharap surat berharga negara ritel semakin dikenal masyarakat sebagai instrumen investasi yang aman yang disediakan pemerintah dengan nominal investasi terjangkau. Dulu surat berharga negara hanya dibeli oleh masyarakat berkocek tebal, karena pembeliannya minimal ratusan juta rupiah. Kini cukup memiliki uang Rp 1 juta, siapapun bisa mengoleksi surat berharga negara.