Juli 2019, Utang Luar Negeri Swasta dan BUMN Rp 2.769 T
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 3 Oktober 2019 06:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Lembaga pemeringkat utang internasional, Moody’s Investor Service menyampaikan potensi peningkatan risiko gagal bayar utang swasta korporasi Indonesia. Hal itu tertuang dalam laporan berjudul ‘Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen’.
Laporan itu mengungkapkan hasil stress test risiko kredit dari 13 negara Asia Pasifik, di mana Indonesia tercatat memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil, bahkan sebanyak 40 persen utang korporasi Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2. Skor ICR yang semakin rendah tersebut menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali pinjamannya semakin menurun.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan peringatan Moody’s itu merujuk pada situasi pelemahan ekonomi global yang kemudian berdampak pada kinerja korporasi dalam negeri.
“Perusahaan-perusahaan swasta kita sudah sangat highly leverage, utangnya sangat besar,” ujar Piter kepada Tempo, Rabu 2 Oktober 2019. Piter mengatakan peningkatan risiko itu khususnya terjadi pada perusahaan yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk valuta asing.
Pasalnya, gejolak nilai tukar rupiah bisa sewaktu-waktu menyebabkan peningkatan kewajiban pembayaran utang luar negeri secara drastis, dan mengakibatkan gagal bayar. “Sehingga peringatan Moody’s beralasan mengingat belajar pengalaman kita pada 1997-1998 menjelang krisis situasinya relatif sama, terjadi lonjakan utang swasta yang kemudian meledak tak tertangani ketika terjadi pelemahan rupiah yang ekstrem,” ucapnya.
Adapun berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri (ULN) Bank Indonesia, nilai utang korporasi swasta dan BUMN hingga Juli 2019 mencapai US$ 197,8 miliar atau setara dengan Rp 2.769,20 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$). Posisi itu tumbuh 11,5 persen secara tahunan dan tumbuh 11,1 persen secara bulanan. Peningkatan tersebut menurut bank sentral disebabkan oleh penerbitan obligasi global oleh korporasi non lembaga keuangan.
Piter melanjutkan risiko gagal bayar itu perlu segera diantisipasi oleh Bank Indonesia maupun pemerintah, dengan mengambil kebijakan yang tepat dalam menghadapi pelemahan ekonomi dan kurs rupiah yang terlampau ekstrem. “Karena yang terjadi jika perusahaan-perusahaan swasta gagal bayar akan menyebabkan kenaikan rasio kredit macet (NPL) secara drastis, perbankan mengalami krisis, investasi terhenti, pengangguran meningkat,” kata dia. Walhasil, pertumbuhan ekonomi dapat terkontraksi bahkan hingga negatif.
<!--more-->
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman berujar berdasarkan pantauan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), utang korporasi swasta saat ini masih terbilang normal. Terlebih, Bank Indonesia yang juga anggota komite, telah memiliki aturan kewajiban transaksi lindung nilai (hedging) untuk meminimalisasi risiko pinjaman dalam bentuk valas. Kewajiban tersebut menurut dia sudah cukup efektif untuk memitigasi risiko gagal bayar utang korporasi. “Itu sudah terkontrol,” katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menuturkan di tengah gejolak perekonomian global dan domestik saat ini, pelaku usaha perlu berhati-hati dalam melakukan pinjaman. “Apa pun yang sudah disampaikan oleh lembaga-lembaga pemeringkat adalah suatu assessment dan peringatan yang baik untuk menjadi bahan bagi para pengambil keputusan di tingkat korporasi agar waspada.”
Berdasarkan catatan Moody’s, peningkatan risiko gagal bayar itu utamanya dipicu oleh pelemahan pendapatan korporasi yang bergerak di sektor komoditas. Di sisi lain kemampuan membayar utang korporasi Indonesia dalam valas masih ada yang belum terproteksi dengan hedging.
Presiden Direktur PT Mayapada International Tbk Hariyono Tjahjarijadi membenarkan pelemahan kinerja korporasi dalam negeri yang sudah dirasakan oleh perbankan. “Pelemahan itu bahkan terjadi praktis hampir di semua industri,” katanya. Sebagai langkah antisipasi, perbankan pun telah menyiapkan pencadangan hingga restrukturisasi kredit jika dibutuhkan. “Kami juga meng-approach debitor untuk mengurangi outstanding kreditnya supaya meringankan beban bunga atau angsuran mereka,” ujar Haryono.
Kasus gagal bayar terbaru menimpa PT Delta Merlin Dunia Textile, entitas Duniatex Group yang tak mampu membayar kupon obligasi yang diterbitkannya. Kondisi industri yang tengah terjepit saat ini pun diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Benang dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta.
“Untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang orientasi domestik sekarang memang sedang mengalami stagnansi pasar, banyak perusahaan yang kesulitan menjual produknya karena pasar masih dipenuhi barang impor,” kata dia. Redma mengatakan jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin akan mengganggu kinerja keuangan dan kelancaran pembayaran utang perusahaan. “Misalnya kalau impornya dibiarkan banjir terus, bisa mengarah ke sana.”
GHOIDA RAHMAH | FAJAR PEBRIANTO