Kenaikan Tunjangan Direksi BPJS Dinilai Tak Wajar, Ini Kata Dirut
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 18 Agustus 2019 14:13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Usulan kenaikan tunjangan direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan dipertanyakan. Juru Bicara dari Komunitas Peduli BPJS Kesehatan Jarot Maryono mempertanyakan besaran tunjangan yang diusulkan tersebut masih termasuk kategori wajar sebagaimana diatur dalam UU BPJS Pasal 44 ayat 5.
“Dengan persoalan defisit, penghapusan peserta penerima bantuan iuran dan akan dinaikkan iuran menurut hemat kami merupakan tindakan yang tidak wajar," ujar Jarot, Jumat, 16 Agustus 2019.
Karena sejatinya, menurut Jarot, direksi adalah organ yang seharusnya bertanggung jawab sepenuhnya untuk memperbaiki kondisi BPJS Kesehatan terlebih dahulu. "Yang saat ini defisit dibandingkan dengan permintaan kenaikan tunjangan kepada Kementerian Keuangan,” ucapnya.
Jarot menjelaskan, Undang-undang (UU) No. 24/2011 Tentang BPJS khususnya pada Pasal 44 diatur mengenai gaji dan manfaat tambahan lainnya Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.
Adapun ayat 5 menyebutkan upah dan manfaat tambahan lainnya itu memperhatikan tingkat kewajaran yang berlaku. "Kemudian ayat 8 menyebutkan ketentuan upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif diatur dengan Peraturan Presiden,” ujar Jarot.
Jarot menambahkan jika merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 110/2013 maka tunjangan yang baru-baru ini dinaikkan adalah termasuk komponen manfaat tambahan lainnya. Adapun tunjangan terdiri dari tunjangan hari raya keagamaan, purna jabatan, cuti tahunan, asuransi sosial dan perumahan.
Persoalannya, kata Jarot, adalah publik menilai kenaikan tunjangan adalah tidak wajar karena kewajiban direksi sampai saat ini belum maksimal. Hal ini terbukti dengan berulang kali BPJS Kesehatan mengalami defisit dan sebentar lagi publik akan merasakan kenaikan iuran. Seharusnya, direksi melakukan inovasi dalam memperbaiki defisit ketimbang mengharapkan bantuan tambahan dari Kementerian Keuangan atau menaikkan iuran.
Sebelumnya Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan keputusan Kementerian Keuangan terkait kenaikan tunjangan direksi BPJS Kesehatan tersebut tidak berasal dari pos anggaran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang defisit.
<!--more-->
"Jangan dihubungkan antara defisit dengan keputusan Kementerian Keuangan. Karena BPJS ini sejak awal ada dua pos keuangan, ada dana jaminan sosial, ada carry over dari PT Askes, aset sebagai BUMN yang kita kelola," kata Fachmi, Kamis, 15 Agustus 2019.
Anggaran dari pos operasional BPJS Kesehatan didapat dari aset PT Askes yang diinvestasikan hingga saat ini. Dana hasil investasi tersebut digunakan untuk peningkatan kapasitas organisasi seperti pembelian mobil dinas, gedung, dan lain-lain.
"Jadi betul yang sampaikan Ibu Menteri Keuangan melalui humasnya, ini tidak berdasarkan dana APBN. Saya kira itu yang mesti dipahami," ujar Fachmi.
Fachmi juga mengklarifikasi bahwa besaran tunjangan yang diterima oleh direksi BPJS Kesehatan tidak mencapai Rp 300 juta per bulan. "Soal angka yang katanya sampai Rp 300 juta itu nggak betul informasi itu. Tidak sebesar itu."
Dia menjelaskan bahwa apa yang diterima oleh direksi sudah sesuai dengan undang-undang, terhadap apa yang diterima pada saat PT Askes. Perubahan dari BUMN PT Askes menjadi lembaga jaminan sosial tetap mempertahankan hak-hak karyawan dan direksi.
"Dalam pembahasan undang-undang juga disebutkan hak-hak karyawan jangan sampai berubah. Jadi kita sebetulnya stabil saja dengan apa yang diterima pada saat masih PT Askes, BUMN persero," kata dia.
Fachmi menyebut bahwa keuangan untuk operasional BPJS Kesehatan setara dengan perusahaan BUMN perbankan atau lembaga keuangan keuangan yang ada saat ini. "Tapi kita tidak setinggi lembaga keuangan Bank Mandiri," ucapnya.
BISNIS | ANTARA