TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah sedang menyiapkan dokumen bantahan atas tuduhan praktek dumping terhadap produk kertas semen dari Korea Selatan. Pemerintah mengakui kesulitan dalam menyiapkan dokumen karena data yang diajukan Korea sangat lengkap. "Mereka (Korea) menyiapkan bahan lengkap sekali, mungkin karena mereka sudah pengalaman kami adukan ke WTO beberapa waktu lalu," ujar Direktur Pengamanan Perdagangan Martua Sihombing, Senin (10/3). Kasus ini berawal dari petisi Korea Selatan yang menuduh produsen kertas semen dari Indonesia melakukan praktik dumping awal November 2007. Selama ini, hanya dua negara pemasok kertas semen ke Korea Selatan, Cina dan Indonesia. Dari 15 produsen kertas di Indonesia, hanya enam yang memproduksi kertas semen dan tiga perusahaan di antaranya melakukan ekspor. Martua mengungkapkan, pihaknya akan mengkaji apakah seluruh dokumen tuduhan yang diajukan Korea Selatan masuk akal atau tidak. "Mereka mengajukan semua angka, mulai dari produksi industri serupa di sana, hitungan dumping margin dan berapa injury (kerugian) yang diderita industri itu, katanya. Dia menjelaskan, tuduhan itu tidak berdasarkan adanya praktek permainan harga jual ataupun lonjakan impor produk kertas semen. "Bukan dua-duanya, masalah dumping bukan hanya harga, tapi karena injury di sana, ujarnya. Menurut Martua, pemerintah akan meneliti apakah ada kerugian industri atau tidak di Korea. Menurut Martua, hingga kini tuduhan dumping kertas tersebut diselesaikan secara profesional. "Tidak ada jalur bilateral, karena WTO mengatur bisa langsung proses," kata Martua. Sebelumnya, Korea menuduh Indonesia melakukan dumping kertas terhadap 16 jenis produk yang diekspor ke Korea Selatan. Produk kertas yang dikenakan bea masuk antidumping (BAMD) sebesar 2,8-38,22 persen antara lain jenis kertas berlapis (glossy paper) dan tidak berlapis yang digunakan untuk menulis, mencetak, dan tujuan grafis lainnya serta kertas karbon. Belakangan Korea dinyatakan melakukan kesalahan prosedur dalam membuktikan tuduhannya. Korea diminta untuk mencabut pengenaan BMAD yang telah berlangsung selama empat tahun. Hingga kini, negara itu belum mencabut pengenaan BMAD tersebut dan Indonesia berhak melakukan retaliasi (tindakan balasan) jika hal itu terus berlangsung RR ARIYANI