Menteri Pariwisata: Tiket Pesawat Mahal Berdampak ke Pariwisata
Reporter
Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 16 Februari 2019 02:05 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta -Tingginya harga tiket pesawat dan kargo udara yang diterapkan sejumlah maskapai belakangan dinilai mengganggu sektor pariwisata tanah air.
"Dampaknya besar sekali harga tiket pesawat itu ke sektor pariwisata," ujar Menteri Pariwisata RI, Arief Yahya Jumat 15 Februari 2019.
Baca : Tiket Pesawat Mahal, Menhub: Kalau Tarif Tidak Turun, Nggak Laku
Pemerintah pun saat ini bersikeras dapat menurunkan harga tiket pesawat terbang itu. Sebab, ujar Arief, okupansi perhotelan yang sebelumnya tercatat rata rata 55 persen langsung drop menjadi 30 persen pasca harga tiket pesawat melambung.
"Hampir semua provinsi tingkat hunian hotelnya mengalami penurunan. Mulai dari Aceh, Medan Batam Kepri, juga Palembang," ujarnya.
Arief menambahkan, kenaikan harga tiket pesawat dari informasi yang diperoleh disebabkan karena tingginya harga bahan bakar pesawat atau avtur. Lalu pada 11 Februari 2019 malam, Presiden Joko Widodo pun meminta harga avtur diturunkan sesuai atau mendekati harga pasar.
Instruksi Jokowi itu diikuti dengan langkah Kementerian Perhubungan meminta harga tiket diturunkan maksimal pekan ini. Maskapai Garuda Indonesia menjadi salah satu yang mengikuti instruksi dengan langsung menurunkan harga tiket sampai 20 persen.
<!--more-->
Arief menuturkan porsi tiket pesawat terbang dalam dunia pariwisata menyumbang 30-40 persen biaya pariwisata. Jadi kalau tiket pesawat terbang naik harganya 40-50 persen seperti sekarang ini berarti overall naik 20 persen.
Arief mengaku setuju dengan sikap dari Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi terkait kenaikan harga tiket. Kalaupun tiket pesawat naik, menurut Arief harus dilakukan secara bertahap. Tidak seperti yang terjadi saat ini di mana harga tiket pesawat terbang langsung mengalami kenaikan yang cukup tinggi dan dilakukan mendadak.
"Kalau seperti itu (harga naik tinggi secara mendadak pasti memicu industri pariwisata menjadi kolaps," ujarnya.
Sebab dalam dunia bisnis termasuk industri pariwisata itu ada ketentuan soal price elasticity atau kelenturan harga yaitu ketika harga dinaikkan 20 persen maka demand akan mengalami penurunan 20 persen.
Begitu halnya jika harga tiket nanti dinaikkan menjadi 30 persen maka demand-nya akan turun 30 persen menjadi hanya 70 persen. Ketika harga tiket pesawat dinaikkan 50 persen maka permintaan akan turun menjadi 50 persen dan itu menurut Arief yang terjadi sekarang akan mengakibatkan permintaan menjadi lebih kecil lagi.
"Bisa jadi tidak ada sama sekali yang beli tiket pesawar karena harganya di luar daya beli masyarakat," ujarnya.
SImak juga :
Tiket Pesawat Garuda Dicek Masih Mahal, Menhub: Harus Konsisten
Arief menuturkan apakah situasi mahalnya harga tiket ini akan berlangsung lama atau tidak, hal tersebut tergantung dengan kondisi. Secara umum jika naiknya kecil yaitu hanya 20 persen maka akan berlangsung dua bulan. Jika 30 persen maka bisa berlangsung selama tiga bulan dan kalau naiknya 50 persen akan berlangsung lima bulan atau bahkan tidak akan kembali lagi ke angka normal.
Karena tidak kembali ke angka normal sebelum kenaikan maka nanti akan ada sebuah keadaan yang disebut sebagai angka new normal dalam harga tiket pesawat. Jika tadinya tingkat okupansi pesawat terbang sebesar 100 persen sekarang tinggal 40 persen. Sehingga angka 40 persen inilah yang harus diterima karena hanya ada 40 orang atau 40 persen yang mampu membeli tiket pesawat terbang yang tadinya Rp 1 juta menjadi Rp 1,5 juta.