Defisit Perdagangan Melebar, Pengamat: Impor Belum Bisa Dikontrol
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 15 Februari 2019 20:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal berujar defisit neraca perdagangan yang sebesar US$ 1,16 miliar pada Januari 2019 lebih disebabkan oleh perlambatan perekonomian dunia. Ia berujar melesunya perekonomian beberapa negara tujuan utama ekspor menghantam nilai ekspor Indonesia.
BACA: BPS: Defisit Perdagangan Naik pada Januari 2019 Jadi USD 1,16 M
"Itu bisa sampai akhir tahun, harus dipantau dengan hati-hati karena impor Indonesia masih belum bisa dikontrol dengan baik," ujar Faisal di Hong Kong Cafe, Jakarta, Jumat, 15 Februari 2019. Apabila itu tidak dilakukan, ia khawatir Indonesia mengulangi kesalahan 2018 di mana defisit perdagangan juga terpantau cukup tinggi.
Menurut Faisal, lantaran Indonesia belum bisa memacu ekspor secara cepat, langkah-langkah perlu dilakukan adalah mengendalikan impor. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak hanya menekan impor demi mencapai surplus neraca perdagangan semata.
"Jangan sampai mengurangi aktivitas di dalam negeri karena dampaknya bisa ke pertumbuhan ekonomi, manufaktur, hingga masyarakat," ujar Faisal. Pemerintah, menurut dia, mesti melakukan pengendalian impor secara cermat.
Misalnya saja saat pembangunan infrastruktur yang butuh besi dan baja, pemerintah harus teliti dalam melakukan impor. Sebab, besi dan baja memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. Besi dan baja manufaktur tidak sama dengan kebutuhan untuk infrastruktur. "Besi yang semestinya untuk manufaktur bisa lari ke infrastruktur karena impornya tidak dikendalikan, tapi jangan sampai kontraproduktif."
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebut terjadinya defisit neraca perdagangan sebesar US$ 1,16 miliar itu disebabkan oleh berbagai kombinasi, yaitu melesunya perekonomian global dan anjloknya harga komoditas. "Saya lihat karena berbagai kombinasi tadi, dari sisi volume beberapa komoditas masih bagus, batu bara dan CPO naik, tapi karena harganya turun, ini menjadi tantangan besar," ujar dia.
Pada minyak sawit misalnya, Suhariyanto mengatakan dalam beberapa waktu terakhir harganya jatuh. Belum lagi, ekspor sawit Indonesia juga terhambat kampanye negatif di Eropa dan bea masuk tinggi di India. Untuk itu, ia mengatakan pemerintah tengah berupaya memperbaiki kondisi itu.
"Jadi kalau dilihat, volumenya kan naik ya, jadi lebih karena harga komoditas yang tidak pasti," ujar Suhariyanto. Kondisi itu bisa lebih buruk lagi kalau negara tujuan utama ekspor, misalnya Cina, mengalami pelambatan pereekonomian. "Karena kalau dia melambat, permintaan ekspor dari Indonesia bisa turun kan."
Berdasarkan data ekspor impor Indonesia tahun 2019, negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Cina dengan nilai US$ 1.707,6 juta. Berikutnya adalah Amerika Serikat dengan nilai US$ 1.512,8 juta, Jepang US$ 1.196,5 juta, dan India US$ 1.001,9 juta.
Adapun sektor yang menyumbang ekspor paling tinggi adalah non-migas dengan persentase 91,10 persen dari total ekspor Januari 2019. Pada periode itu, total nilai ekspor industri pengolahan tercatat US$ 10,14 miliar. Berikutnya adalah migas US$ 1,25 miliar, pertanian US$ 0,28 miliar, serta tambang dan lainnya US$ 2,21 miliar.
Simak berita tentang defisit hanya di Tempo.co