Sandiaga Sebut Bayi Terbebani Utang Rp 13 Juta, Ini Data Kemenkeu
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 3 Januari 2019 19:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno mengaku prihatin dengan tingginya nilai utang negara saat ini. Ia mengatakan saat ini setiap bayi yang baru lahir pun telah dibebani utang Rp 13 juta.
Baca: Sandiaga Bangun Infrastruktur Tanpa Utang, BPN: Jaringannya Luas
"Setiap bayi yang lahir, belum apa-apa, dia sudah dibebani utang Rp 13 juta. Ini yang ngomong ibu Sri Mulyani sendiri," ujar Sandiaga dalam rekaman video yang diunggah melalui akun Twitter-nya @sandiuno, Kamis, 3 Januari 2019.
Hingga kini cuitan yang juga disertai video berdurasi 59 detik tersebut dikomentari oleh 199 netizen, di-retweet oleh 773 orang dan disukai oleh 2.700 netizen. Dalam video itu Sandiaga juga menyayangkan utang negara yang sangat besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu ia mengusulkan pembangunan tanpa dengan cara berutang adalah dengan mendorong kemitraan pemerintah dan swasta.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan yang dirilis pada Januari 2018, utang per kapita Indonesia pada tahun 2017 adalah sebesar US$ 1.089. Apabila dikonversi ke dalam rupiah dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.500 per dolar Amerika Serikat, utang per kapita Indonesia pada 2017 adalah sebesar Rp 15,79 juta.
Kendati demikian, besar utang per kapita Indonesia kala itu masih di bawah beberapa negara peers, seperti India, Vietnam, Thailand, Malaysia, hingga Brasil. Kala itu, utang per kapita India adalah sebesar US$ 1.351, Vietnam US$ 1.435, dan Thailand US$ 2.655. Sementara itu, utang per kapita Malaysia pada 2017 adalah US$ 5.463 dan Brasil US$ 8.107.
Pada pertengahan April 2017 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyebutkan utang per kapita Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara Amerika Serikat dan Jepang. Satu orang di Amerika Serikat misalnya, menanggung utang US$ 62 ribu. Sementara di Jepang mencapai US$ 85 ribu.
Sri Mulyani menambahkan Indonesia juga masih lebih untung karena mengalami bonus demografi. Rata-rata penduduk Indonesia berada di golongan produktif. Sementara di Jepang dengan utang yang besar, populasinya didominasi oleh masyarakat tua.
Tak hanya itu, Sri Mulyani menyebutkan rasio utang terhadap produk domestik bruto meski terbilang tinggi namun persentasenya masih di bawah negara lain. "Rasio utang Indonesia memang cukup tinggi. Tapi tidak tinggi-tinggi amat dibandingkan dengan negara lain," katanya di Polikteknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan, Senin, 17 April 2017.
Sebelumnya, terkait utang, pemerintah dan sektor swasta telah diminta mewaspadai peningkatan utang luar negeri Indonesia. Hingga akhir Oktober lalu, total utang luar negeri mencapai US$ 360,5 miliar atau Rp 5.256 triliun (asumsi kurs rupiah 14.500 per dolar AS)--terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral, serta utang swasta. Sampai Oktober tahun ini, utang luar negeri tumbuh 5,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
“Posisi saat ini sudah lampu kuning,” ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Tempo, dua pekan lalu. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman Zainal mengklaim nilai utang luar negeri Indonesia pada akhir oktober itu masih terkendali dengan struktur yang sehat.
Namun Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Keuangan, Riko Amir, memastikan kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri, termasuk yang jatuh tempo pada 2019. “Utang pemerintah dalam kondisi aman, dan pemerintah mampu membayar sesuai dengan kemampuan keuangan negara,” ujarnya kepada Tempo.
Riko mengatakan, dari sisi rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto hingga 30 Oktober 2018, berada dalam kisaran 30,68 persen. Angka tersebut jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Baca: Sandiaga Sebut Sistem BPJS Kesehatan Menyusahkan Masyarakat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pertambahan nilai utang pemerintah juga disertai dengan kemampuan pengelolaan utang yang baik. Terlebih, utang tersebut digunakan untuk kepentingan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur, sembari membiayai program sosial pemerintah, seperti jaminan kesehatan dan subsidi pendidikan. “Jumlah utang itu akan menurun seiring dengan mulai beroperasinya berbagai infrastruktur yang telah dibangun,” ucapnya.
VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH