Rupiah Naik Turun, Bagaimana Harga Mobil Toyota?
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Martha Warta Silaban
Sabtu, 8 Desember 2018 07:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Warih Andang Tjahjono mengatakan kondisi nilai tukar rupiah yang terus naik turun beberapa waktu ke belakang tak lantas membuat industri menaikkan harga produknya. Pasalnya, soal harga ditentukan oleh pasar.
BACA: Rupiah Naik Turun, Ini Kata Bos Toyota Manufacturing Indonesia
"Customer itu, penentuan harga bukan oleh industri, sekarang kan semua industri ada dan semuanya saling berkompetisi, kalai kami main naikkan harga tidak akan ada yang beli," ujar Warih di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nsional, Jakarta, Jumat, 7 Desember 2018.
Untuk itu, solusi yang perlu dilakukan industri dalam menghadapi kondisi perekonomian yang tidak menentu adalaah dengan memacu industri manufaktur dalam negeri agar semakin produktif dan efisien. Selain itu, industri juga perlu memperbanyak penggunaan bahan-bahan baku dalam negeri.
"Kami sudah tahu apa yang perlu dicapai untuk menjadi negara industri, misalnya penggunaan material lokal, bisa bandingkan dengan Thailand dan Vietnam," ujar Warih. "Kalau kami bisa mencapai itu, mau kondisi fluktuatif pun kita bisa survive."
Belakangan rupiah memang sempat bergejolak. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate, rupiah sempat menguat mencapai level Rp 14.252 per dolar AS pada 3 Desember 2018. Namun penguatan itu hanya terjadi sesaat. Dalam empat hari rupiah kembali ambles mencapai level Rp 14.539 per dolar AS pada hari ini, Jumat, 7 Desember 2018. Artinya, dalam empat hari, rupiah anjlok 287 poin.
BACA: Bank Indonesia: Pelemahan Rupiah karena Sentimen Global
Meski demikian, Warih tidak mau menceritakan seberapa besar dampak naik turun nilai tukar itu kepada perusahaannya. Menurut dia, selama ini perusahaannya masih bisa menyeimbangkan impor dan ekspornya, sehingga lebih stabil. "Tapi ingat ada industri yang tidak ekspor. Kalau demikian, fluktuasi rupiah akan berdampak besar. Itu harus ditanggulangi juga," kata Warih.
Menurut Warih, kalau berbicara soal impor dan neraca perdagangan, maka salah satu yang dicermati adalah industri hulu. Sebab, Indonesia saat ini masih banyak mengimpor barang mentah. Padahal, selama ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. "Kalau kami melihat, pasar kami juga besar, karena produk hulu kan tidak hanya dipergunakan merek tertentu, jadi skala ekonominya besar," kata Warih.
Baca berita tentang Rupiah lainnya di Tempo.co.