TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Warih Andang Tjahjono mengomentari kondisi nilai tukar rupiah yang belakangan naik turun. Ia menilai kurs sebaiknya tidak terlalu berfluktuasi.
BACA: Bank Indonesia: Pelemahan Rupiah karena Sentimen Global
"Rupiah sebenarnya jangan terlalu fluktuasi dan jangan terlalu besar," ujar dia di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Jumat, 7 Desember 2018. Pasalnya, Warih mengatakan industri di Indonesia sejatinya menggunakan dolar untuk kegiatan ekspor dan impor.
Walaupun, Warih tidak memungkiri bahwa naik turunnya rupiah disebabkan kondisi eksternal global yang kerap bergejolak. Sehingga, hal yang bisa dilakukan adalah agar pemerintah memperkecil faktor eksternal untuk menggenjot industri menjadi semakin kompetitif.
BACA: 2019, Ekonom Prediksi Nilai Tukar Rupiah Rata-rata Rp 14.725
Warih berpendapat salah satu pekerjaan rumah Indonesia adalah untuk memperdalam industri di dalam negeri. Dengan demikian, ketergantungan Indonesia terhadap impor menjadi semakin kecil. "Fluktuasi rupiah itu tantangan besarnya seperti itu, bagaimana agar proses industri kita semakin mandiri, terutama di rantai pasok upstream industri," ujar Warih.
Menurut Warih, kalau berbicara soal impor dan neraca perdagangan, maka salah satu yang dicermati adalah industri hulu. Sebab, Indonesia saat ini masih banyak mengimpor barang mentah. Padahal, selama ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. "Kalau kita melihat, pasar kita juga besar, karena produk huku kan tidak hanya dipergunakan merek tertentu, jadi skala ekonominya besar," kata Warih.
Belakangan rupiah memang sempat bergejolak. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate, rupiah sempat menguat mencapai level Rp 14.252 per dolar AS pada 3 Desember 2018. Namun penguatan itu hanya terjadi sesaat. Dalam empat hari rupiah kembali ambles mencapai level Rp 14.539 per dolar AS pada hari ini, Jumat, 7 Desember 2018. Artinya, dalam empat hari, rupiah anjlok 287 poin.