Indef Sebut RAPBN 2019 Sangat Populis, Ini Sebabnya

Rabu, 29 Agustus 2018 16:30 WIB

(kiri ke kanan) Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri, Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Yati Kurniati, Direktur Eksekutif INDEF Enny S. Hartati, dan Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Schneider Siahaan dalam diskusi Iluni UI di Kampus Salemba UI, Jakarta Pusat, 3 April 2018. TEMPO/Lani Diana

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara atau RAPBN 2019 sangat populis. Meski secara agregat terlihat optimistis, dia mengatakan, rancangan anggaran terlihat hanya mementingkan politik kepentingan jangka pendek.

Baca: RAPBN 2019, Sri Mulyani: Pemerintah Naikkan Dana Cadangan Bencana

Menurut Enny, indikatornya adalah target pendapatan pajak yang tinggi namun tak cukup membantu pertumbuhan industri atau sektor riil ke depan. "Instrumen fiskal itu stimulus bukan malah membebani pajak tinggi kecuali pemerintah mampu meningkatkan compliance wajib pajak," kata Enny dalam acara diskusi bertajuk "RAPBN 2019: Realistis vs Populis" di Restoran Rantang Ibu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Agustus 2018.

Dalam dokumen Nota Keuangan, pemerintah sebelumnya telah memproyeksikan penerimaan pajak tahun 2019 berdasarkan outlook sebesar Rp 1.572,3 triliun. Jumlah tersebut dinilai realistis untuk dicapai dengan tingkat pertumbuhan 16,4 persen atau sekitar Rp 300 triliun dari outlook realisasi 2018.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga 20 Agustus 2018 mencapai Rp 760,57 triliun. Jumlah tersebut naik sebesar 10,68 persen dari penerimaan pada 31 Juli 2018.

Advertising
Advertising

Menurut Enny, target pajak yang naik sekitar Rp 300 triliun tersebut tidaklah tepat. Sebab, saat ini kondisi industri manufaktur atau sektor riil tengah melesu sejak beberapa tahun ke belakang. Merujuk data Badan Pusat Statistik atau BPS, pertumbuhan industri pada kuartal kedua 2018 hanya tumbuh 3 persen.

Enny berujar, memperhatikan kondisi industri dan juga sektor riil penting karena penerimaan pajak paling besar didapatkan dari pajak korporasi. Dengan kondisi itu, ditambah nilai tukar yang terus memburuk dan bahan baku impor yang terus melambung tentu bakal memperberat beban industri.

Meski demikian, Enny mengatakan target pajak tersebut bisa saja tercapai. Namun, dengan konsekuensi pertumbuhan industri yang tak akan besar. "Bisa saja target pajak tercapai tapi industri sangat mungkin tidak akan berkembang atau pertumbuhan sektor riilnya akan stagnan. Jadi target transformasi struktural sulit akan tercapai," kata dia.

Enny juga berujar meski tren pendapatan pajak hingga semester 2018 cenderung meningkat namun diperkirakan kondisi tersebut tak akan bertahan lama. Sebab, pertumbuhan pajak saat ini lebih banyak didorong oleh pajak minyak dan gas (migas) yang ditopang dengan harga minyak yang tengah menanjak dan juga perdagangan internasional akibat menguatnya dolar Amerika Serikat.

Pemerintah akan tetap memprioritaskan penerbitan surat utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) domestik sebagai salah satu sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jangka menengah tahun 2019-2022. "Penerbitan SBN domestik pada kisaran 70–75 persen dari total penerbitan SBN," seperti dikutip dari dokumen Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2019, Kamis, 23 Agustus 2018.

Selain itu pemerintah untuk tenor jangka menengah hingga jangka panjang akan mempertahankan ketersediaan penerbitan SPN 3 bulan dan 6 bulan serta 1 tahun. Pemerintah juga akan menerbitkan SBN valas sebagai pelengkap dalam denominasi hard currency untuk membantu memenuhi kebutuhan cadangan devisa negara.

Baca: Bukan Cina, Ini Negara Pemberi Utang Terbesar ke RI

Hal-hal tersebut dilakukan pemerintah dengan sebelumnya mempertimbangkan kondisi perekonomian di tahun 2018 yang cukup volatile dan berpotensi mengulang krisis tahun 2008-2009. Kondisi krisis dimaksud yaitu depresiasi nilai tukar hingga 35 persen dari nilai tukar rata-rata tahun 2018 dan kenaikan imbal hasil hingga maksimum 109 persen dari imbal hasil rata-rata di tahun 2018.

Baca berita menarik lainnya terkait RAPBN 2019 hanya di Tempo.co.

Berita terkait

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

5 hari lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

8 hari lalu

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.

Baca Selengkapnya

Menhub Budi Karya Sebut Bandara Panua Pohuwato akan Tingkatkan Perekonomian Gorontalo

10 hari lalu

Menhub Budi Karya Sebut Bandara Panua Pohuwato akan Tingkatkan Perekonomian Gorontalo

Menteri Perhubungan atau Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan Bandara Panua Pohuwato menjadi pintu gerbang untuk mengembangkan perekonomian di Kabupaten Pohuwato dan Provinsi Gorontalo.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral

11 hari lalu

Sri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenakan kain batik pada hari terakhirnya di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April kemarin.

Baca Selengkapnya

Apa Kata Pengamat Ekonomi jika Konflik Iran-Israel Berlanjut bagi Indonesia?

15 hari lalu

Apa Kata Pengamat Ekonomi jika Konflik Iran-Israel Berlanjut bagi Indonesia?

Konflik Iran-Israel menjadi sorotan sejumlah pengamat ekonomi di Tanah Air. Apa dampaknya bagi Indonesia menurut mereka?

Baca Selengkapnya

Imbas Serangan Iran ke Israel, Pemerintah akan Evaluasi Anggaran Subsidi BBM 2 Bulan ke Depan

17 hari lalu

Imbas Serangan Iran ke Israel, Pemerintah akan Evaluasi Anggaran Subsidi BBM 2 Bulan ke Depan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons soal imbas serangan Iran ke Israel terhadap harga minyak dunia. Ia mengatakan pemerintah akan memonitor kondisi selama dua bulan ke depan sebelum membuat keputusan ihwal anggaran subsidi bahan bakar minyak atau BBM.

Baca Selengkapnya

Airlangga Siapkan Antisipasi Imbas Tekanan Serangan Iran ke Israel Terhadap Perekonomian RI

17 hari lalu

Airlangga Siapkan Antisipasi Imbas Tekanan Serangan Iran ke Israel Terhadap Perekonomian RI

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi soal imbas serangan Iran ke Palestina terhadap perekonomian Indonesia.

Baca Selengkapnya

Menko Perekonomian Airlangga Sebut Bakal Lakukan Antisipasi Imbas Serangan Iran ke Israel

18 hari lalu

Menko Perekonomian Airlangga Sebut Bakal Lakukan Antisipasi Imbas Serangan Iran ke Israel

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut bakal melakukan antisipasi imbas serangan Iran ke Israel agar perekonomian tidak terdampak lebih jauh.

Baca Selengkapnya

ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik Mencapai 4,9 Persen Tahun Ini, Apa Saja Pemicunya?

22 hari lalu

ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik Mencapai 4,9 Persen Tahun Ini, Apa Saja Pemicunya?

ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik bakal mencapai angka rata-rata 4,9 persen pada tahun ini.

Baca Selengkapnya

Pengusaha Beri Masukan Peta Perekonomian ke Prabowo, Apa Isinya?

22 hari lalu

Pengusaha Beri Masukan Peta Perekonomian ke Prabowo, Apa Isinya?

Kalangan pengusaha di Apindo memberi masukan berupa peta perekonomian kepada pemerintahan selanjutnya yakni Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.

Baca Selengkapnya