TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diperkirakan bakal menghadapi sejumlah tantangan keuangan pada tahun anggaran 2019. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, selain mesti berutang untuk membayar defisit anggaran, pemerintah juga harus melunasi utang jatuh tempo sebesar Rp 409 triliun.
Baca: Sri Mulyani Sebut Pidato Ketua MPR soal Utang Menyesatkan
Untuk itu, pemerintah telah merencanakan penambahan utang baru sebesar Rp 359,3 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019. "Itu belum memperhitungkan kemungkinan refinancing utang jatuh tempo," ujar Bhima kepada Tempo, Selasa, 21 Agustus 2018.
Bhima berpendapat saat ini memang tidak ada strategi untuk menutup utang jatuh tempo tahun depan selain dengan lakukan refinancing alias menerbitkan Surat Berharga Negara baru dengan tenor yang lebih panjang.
Baca: Siapkan Strategi Pembiayaan Utang 2019, Kemenkeu Amati Pasar Uang
Persoalannya, beban bunga SBN dipastikan naik tahun depan. Sebab tahun depan suku bunga Bank Sentral AS diproyeksikan naik hingga tiga kali. "Yield SBN saat ini sudah 8 persen untuk tenor 10 tahun, menunjukkan yield spread yang semakin lebar dengan treasury bond di tenor yang sama," kata Bhima.
Lebih jauh, Bhima memperkirakan pengurangan pembiayaan utang dalam anggaran tahun depan sulit direalisasikan. Sebab, ia memproyeksikan total utang pemerintah hingga akhir 2019 bisa mencapai Rp 4.685 triliun atau naik 8,3 persen.
Pertumbuhan utang itu masih berpotensi membengkak lebih besar jika penerimaan pajak mengalami shortfall. "Karena growth target pajak 10 persen overshoot," ujar Bhima. "Strategi front loading untuk penerbitan Surat Berharga Negara baru pun diprediksi akan melebar dari target."
Tantangan lain yang dihadapi pemerintah, ujar Bhima, adalah tidak sejalannya pertumbuhan utang dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya ditargetkan 5,3 persen. Apabila pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto berarti utang masih belum dikelola secara produktif. "Jadi di 2019 tantangan utang sekali lagi makin berat," kata Bhima.
Ihwal utang pemerintah tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat setelah disinggung Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan dalam pidato sidang tahunan MPR 16 Agustus 2018. Saat itu Zulkifli menyebutkan besar pembayaran pokok utang Pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 tidak wajar.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu berujar pokok utang pemerintah tujuh kali lebih besar dari dana desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan. Utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah di tahun 2019 disebut mencapai Rp 409 triliun.
Menjawab tudingan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan tren pertumbuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang berasal dari utang terus turun sejak 2016. Pembiayaan utang mencapai puncaknya pada 2015.
"Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak," ujar Sri Mulyani dalam akun Facebook resminya, Senin, 20 Agustus 2018.
Pada tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49,0 persen. Sri Mulyani berujar saat itu pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya. Angka tersebut turun drastis ke level 5,6 persen pada 2016.
Pertumbuhan pembiayaan utang sempat naik tipis pada 2017 ke angka 6,5 persen, sebelum merosot ke minus 9,7 persen. Pada Rancangan APBN 2019, pertumbuhan pembiayaan utang diproyeksikan minus 7,3 persen. Pembiayaan utang pada 2019 direncanakan Rp 359,3 triliun.