Rupiah Melemah Hingga 14.404 per Dolar AS, Ini Penyebabnya
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 29 Juni 2018 12:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebutkan pelemahan kurs rupiah belakangan ini di antaranya karena besarnya tekanan global setelah perang dagang AS-Cina yang terus berlanjut. "Ekspektasi kenaikan Fed rate 4 kali tahun ini dan kenaikan harga minyak karena Trump serukan boikot impor minyak dari Iran," ujarnya ketika dihubungi, Jumat, 29 Juni 2018.
Bhima menjelaskan US Dolar index sempat naik ke 95,3. Artinya dolar AS menguat terhadap mata uang dominan lainnya. Sementara kurs tengah Bank Indonesia mencatat kurs rupiah siang hari ini berada di level Rp 14.404 per dolar AS.
Baca: Kurs Dolar AS Terus Menguat Menjelang Rapat Dewan Gubernur BI
Sayangnya, menurut Bhima, dari-data ekonomi di dalam negeri di bawah ekspektasi pelaku pasar. Data domestik yang dimaksud misalnya neraca perdagangan Mei kembali defisit di level US$ 1,52 miliar, defisit transaksi berjalan melebar dan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 dikoreksi turun sulit tembus 5,4 persen.
Hal tersebut juga yang membuat pelaku pasar melakukan net sell atau aksi jual di bursa saham dan pasar surat utang. Yield SBN 10 tahun juga terus naik di kisaran 8,1 persen menunjukkan investor cenderung melepas kepemilikan SBN. Selain itu naiknya yield spread antara SBN dan Treasury bond makin melebar.
Baca: Pertumbuhan Ekonomi Diharapkan jadi Sentimen Positif Rupiah
Bhima menambahkan, di dalam negeri sudah terlihat capital outflow dari pasar modal dan surat utang. Investor asing pun menghindari negara berkembang.
Pelemahan kurs rupiah hari ini, menurut Bhima, bukan hanya terparah sepanjang 2018 tapi juga terparah sejak Oktober 2015. Prediksinya rupiah hingga akhir tahun akan terus fluktuatif bergerak di kisaran 14.200-14.800.
Sementara itu Analis Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail memperkirakan dolar AS akan bergerak stabil di sekitar level 95,2-95,5 terhadap beberapa mata uang utama dunia terutama Euro pada perdagangan hari ini.
Adapun ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini rentan terhadap penguatan dolar AS. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari impor komoditas dan deindustrialisasi dalam satu dekade terakhir. “Dulu porsi sektor industri kita (Indonesia) hampir 30 persen, sekarang justru turun ke arah 25 persen," tutur David.
Hal tersebut, menurut David, mengganggu penyerapan tenaga kerja. "Apabila tidak ada tenaga kerja atau banyak pengangguran, maka daya beli masyarakat akan terpengaruh, pendapatan menurun, akan mengganggu ekonomi,” katanya menanggapi soal pelemahan rupiah belakangan ini.