TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin menyatakan penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah butuh intervensi pemerintah. "Kemampuan masyarakat membeli rumah memang bertingkat, jadi butuh intervensi," katanya, Rabu, 3 Juni 2015.
Menurut dia, penyediaan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus disegerakan. Jika tidak, defisit hunian (backlog) bakal semakin bengkak.
Secara nasional, kebutuhan rumah bertambah sekitar 800 ribu unit per tahun. Adapun yang bisa diakomodasi Real Estat Indonesia (REI) bekerja sama dengan pemerintah baru sekitar 400 ribu unit. Saat ini backlog mencapai 13,5 juta unit hunian.
Defisit rumah di Banten sendiri sekarang berkisar 515 ribu unit dan Jawa Barat 2,5 juta unit. Guna mengatasi backlog ini tak berarti, pemerintah menginginkan semua warga membeli rumah, bukan memiliki dengan sistem sewa. "Selain subsidi, BTN siapkan skema 1 : 5 : 20, yakni 1 persen uang muka KPR, 5 persen bunga cicilan, dan cicil selama 20 tahun," ujar Syarif.
Selama ini, proyek rumah murah tidak terlalu menggiurkan bagi pengembang properti. Sebab, margin yang diperoleh developer cuma 10-20 persen. Padahal hunian non-masyarakat berpenghasilan rendah bisa mencapai 30 persen. Tapi segmen ini dilirik karena besarnya potensi pasar yang ada.
Di Banten saja, berdasarkan catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dari sejuta peserta, sekitar separuhnya tergolong masyarakat berpenghasilan rendah. Sebanyak 25 persen dari peserta BPJS Banten yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah belum memiliki rumah.