Sebuah bus Trans Jakarta berjalan dibelakang sejumlah mobil yang menerobos jalurnya di jalan protokol MH Thamrin, Jakarta, (19/8). Kemacetan yang cukup panjang membuat sejumlah kendaraan pribadi menerobos jalur Busway. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai pernyataan Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan terkait dengan mobil murah ramah lingkungan nantinya dikhususkan untuk daerah di luar Jawa, akan sulit direalisasikan. "Yang banyak uang itu orang-orang yang ada di Jabodetabek," kata dia saat dihubungi Tempo, Kamis, 19 September 2013.
Menurut dia, cara untuk menekan kemacetan bukan membatasi penjualan mobil murah tersebut. Tapi dengan membuat kebijakan yang pro pada transporatsi publik. "Ada insentif untuk kendaraan publik agar kualitas kendaraan lebih bagus, sehingga masyarakat beralih ke transportasi publik."
Jika membatasi mobil murah, Djoko melanjutkan, pemerintah harus membuat sanksi yang jelas bagi pelanggarnya. "Makanya, kebijakan itu sangat sulit. Sanskinya saja tidak jelas. Ini hanya kata-kata tapi tak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Ia pun memperkirakan akan sulit mengatur mobil murah untuk tidak menggunakan bahan bakar minya bersubsidi. "Bagaimana cara mengaturnya?"
Hidayat mengatakan mobil LCGC bukan menggunakan BBM bersubsidi namun menggunakan bahan bakar Ron 92 atau setara Pertamax. Ia menuturkan pihaknya tidak akan memberikan jaminan bagi mobil yang menggunakan BBM bersubsidi. "Kalau ada mobil yang menggunakan BBM bersubsidi dan kemudian dalam 1-2 tahun sudah rusak, kami tak memberikan garansi."