TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dalam rapat paripurna DPR, hari ini, 6 Juli 2017.
Pertanggungjawaban itu berupa laporan keuangan yang telah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dibahas sebelum mendapatkan persetujuan sebagai undang-undang. "Substansi dari RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2016 adalah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diperiksa oleh BPK," ujarnya di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis.
Baca Juga:
Simak: Utang Naik Rp 17 Triliun, Menko Darmin: Masih Aman
Seperti diketahui, berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian WTP atas LKPP tahun 2016.
Darmin berujar, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemerintah telah menyajikan laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi pemerintahan (SAP) berbasis akrual. LKPP tahun 2016 terdiri atas laporan realisasi APBN, laporan perubahan saldo anggaran lebih, neraca, laporan operasional, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan yang disertai dengan ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara, badan layanan umum (BLU), dan badan lain.
Darmin menyampaikan realisasi pendapatan negara pada 2016 sebesar Rp 1.555,9 triliun atau 87,1 persen dari APBN Perubahan 2016. "Meskipun realisasi pendapatan negara 2016 tidak sesuai dengan rencana, realisasi pendapatan tersebut meningkat Rp 47,9 triliun atau 3,2 persen dibandingkan dengan realisasi di 2015."
Realisasi pendapatan itu terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.284,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 261,9 triliun, dan penerimaan hibah Rp 8,9 triliun.
Selanjutnya, realisasi belanja negara mencapai Rp 1.864,3 triliun atau 89,5 persen dari target APBN Perubahan 2016. Realisasi itu tercatat meningkat Rp 57,8 triliun atau 3,2 persen dibanding realisasi tahun lalu. Darmin mengatakan realisasi terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.154 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 710,3 triliun.
Menurut Darmin, lebih rendahnya realisasi belanja negara dari yang direncanakan dalam APBN Perubahan 2016 utamanya disebabkan oleh kebijakan pengendalian belanja yang dilakukan pemerintah. "Sehingga tingkat defisit anggaran dapat dikendalikan pada tingkat di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB)," katanya.
Darmin menambahkan, kebijakan pengendalian belanja juga dimaksudkan untuk mewujudkan APBN yang sehat dan sustainable, serta untuk mengendalikan meningkatnya pinjaman pemerintah karena tidak tercapainya target pendapatan negara. Berdasarkan realisasi pendapatan dan belanja negara itu, defisit anggaran mencapai Rp 308,3 triliun. Sedangkan realisasi pembiayaan neto untuk menutup defisit anggaran adalah Rp 334,5 triliun dan terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) untuk tahun anggaran 2016 sebesar Rp 26,2 triliun.
Darmin berujar saldo anggaran lebih (SAL) awal setelah penyesuaian tahun anggaran 2016 adalah Rp 108,3 triliun, dengan penggunaan SAL Rp 19 triliun dan Silpa Rp 26,2 triliun. Di samping itu, terdapat penyesuaian SAL sebesar minus Rp 2,2 triliun, sehingga saldo akhir SAL tahun anggaran 2016 adalah Rp 113,2 triliun.
Kemudian, Darmin melaporkan, posisi keuangan pemerintah yang ditunjukkan dalam neraca per 31 Desember 2016 terdiri atas aset Rp 5.456,9 triliun, kewajiban Rp 3.889,9 triliun, dan ekuitas Rp 1.566,9 triliun.
Aset pemerintah tersebut terdiri atas aset lancar Rp 304,6 triliun dan aset nonlancar Rp 5.152,3 triliun. Sementara itu, kata Darmin, kewajiban pemerintah terdiri atas kewajiban jangka pendek Rp 387,4 triliun dan kewajiban jangka panjang Rp 3.502,5 triliun.
GHOIDA RAHMAH