TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengomentari tutupnya gerai 7-Eleven atau Sevel per 30 Juni 2017. Menurut dia, kompetisi dalam bisnis ritel sangat ketat. Selain itu, kata Haryadi, margin keuntungan bisnis ritel juga tipis.
"Kami lihat mungkin kesiapan manajemen, apakah cukup solid untuk mengantisipasi persaingan," kata Haryadi di kediaman Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Senin, 26 Juni 2017.
Baca: Penyebab Sevel Tutup Versi Menteri Darmin
Haryadi menilai, apabila pengusaha ritel tidak memiliki konsep yang kuat, dia akan menemui tantangan cukup berat. Apalagi, Sevel muncul setelah Alfamart dan Indomaret. "Biasanya, pemain belakangan terkonsentrasi di beberapa titik. Circle K kuat di Bali, dekat dengan klien turis," kata dia.
Selain itu, menurut Haryadi, yang menyebabkan Sevel tidak bisa bertahan adalah masalah keuangan. Akuisisi aset dan bisnis Sevel dari PT Modern Sevel Indonesia kepada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia juga batal. "Itu juga membuat masalah," tuturnya.
Haryadi mencontohkan Alfamart memiliki margin keuntungan yang sangat kecil. Dalam laporan keuangan Alfamart, menurut Haryadi, marginnya hanya 1,5-2 persen. "Untuk volume seperti itu kan kompetitif sekali. Kalau mereka salah strategi, sudah pasti rugi," ujarnya.
Baca: Cerita Kadin, Mengapa Sevel Akhirnya Tutup
PT Modern Internasional Tbk bakal menutup seluruh gerai 7-Eleven atau Sevel di bawah manajemen anak usahanya, PT Modern Sevel Indonesia, mulai 30 Juni 2017. Menurut Direktur Modern Internasional Chandra Wijaya, penutupan gerai karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Keterbatasan sumber daya tersebut terjadi setelah batalnya rencana akuisisi aset dan bisnis Sevel dari PT Modern Sevel Indonesia kepada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia. Dengan tutupnya seluruh gerai, Sevel akan menindaklanjuti hal-hal material sesuai dengan peraturan dan hukum.
ANGELINA ANJAR SAWITRI