TEMPO.CO, Jakarta - Staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2014-2016, Muhammad Said Didu, memberikan pernyataannya terkait dengan polemik kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan pemerintah Indonesia melalui akun Twitternya, @saididu. Dalam kuliah Twitternya (kultwit), ia memberi judul #buahsimalakamafreeport dan berisi seratus kicauan yang ia beri tanda pagar #simalakama.
Menurut Said, kebijakan tentang Freeport memang selalu menjadi polemik, bahkan menjadi bahasan politik tingkat tinggi. Salah satu puncak pembahasan masalah Freeport yang publik masih ingat adalah kasus #papamintasaham pada 2016.
Baca: Freeport Beri Waktu 120 Hari pada Pemerintah Jokowi
“Kasus #papamintasaham hanyalah bagian dari beberapa pihak yg selama ini sudah menjadi "benalu" di Freeport. Tidak sedikit supplier di Freeport sebenarnya dipegang atau diatur tokoh-tokoh besar dan kuat di negeri ini,” kata Said Didu, seperti dikutip dari kicauan di akun Twitternya, Senin, 20 Februari 2017.
Baca: Hadapi Tekanan Freeport, Menteri Jonan Tawarkan 3 Opsi
Baca Juga:
Menurut Said, perpanjangan kontrak Freeport memang selalu menjadi masalah krusial yang selalu dihadapi pemerintah. Siapa pun pemerintahannya, saat tiba waktu perpanjangan kontrak, maka pemerintah akan menghadapi dilema yang membutuhkan ketegasan pemimpin. Said mencontohkan persoalan yang awalnya dialami pemerintahan Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, terkait dengan izin ekspor konsentrat. Sebab, menurut Undang-Undang Minerba, hal tersebut dilarang.
Baca: Freeport Ultimatum Jokowi soal Kontrak, Ini Alasannya
Begitu juga saat pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain masalah izin ekspor, masalah perpanjangan kontrak kembali muncul. “#simalakama. Walaupun kontrak Freeport baru selesai pada 2021, tapi pihak Freeport meminta kepastian perpanjangan kontrak sejak 2015. Permintaan itu dilakukan dengan pertimbangan untuk mendapatkan kepastian investasi tambang bawah tanah dan pembangunan smelter,” tutur Didu.
Baca: Freeport Indonesia Berhentikan Karyawan Pekan Depan
Ia menambahkan, hal tersebut merupakan simalakama bagi pemerintah. Sebab, atas pengkajian perpanjangan, sesuai dengan kontrak, Freeport dapat meminta perpanjangan kapanpun, sementara peraturan pemerintah (PP) menyatakan permohonan perpanjangan hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak habis. Artinya, sesuai dengan PP tersebut, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada 2019.
“Berbeda dengan kontrak Freeport yang menyatakan bahwa kapanpun Freeport bisa minta perpanjangan dan pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan. #simalakama. Dalam kontrak juga disebutkan bahwa jika dihalangi, pihak Freeport dapat mengajukan ke Arbitrase Internasional,” tutur said.
Menurut Said, perlu diketahui bahwa kontrak Freeport dengan pemerintah sangat kuat karena terdapat persetujuan PDR yang seakan-akan setara dengan undang-undang. Artinya, ada dua simalakama yang dihadapi, yakni perpanjangan kontrak versus peraturan pemerintah dan perpanjangan kontrak versus investasi.
Dalam Undang-Undang Minerba yang baru sudah tidak lagi dikenal kontrak karya (KK) sehingga jika Freeport ingin melakukan perpanjangan kontrak, mereka harus berubah menjadi izin usaha, yakni izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Menurut Said, meski tidak sedikit masyarakat yang meminta pemerintah bersikap tegas terhadap Freeport untuk memutuskan kontrak, sementara dalam kontrak lama Freeport masih memiliki hak untuk meminta perpanjangan hingga 2041. “Ini juga dilema,” ucap Said. “#simalakama. Selain itu, jika kontrak tidak diberikan kepastian perpanjangan kontrak pada 2015, maka investasi tidak bisa dilanjutkan,” kata Said.
Adapun investasi yang membutuhkan kepastian kontrak sejak 2015 adalah investasi tambang bawah tanah dan pembangunan smelter. Menurut Said, jika Freeport saat itu mengajukan perpanjangan sesuai dengan haknya dalam kontrak, pemerintah pasti akan menghadapi simalakama lain. Minimal, ada tujuh tuntutan pemerintah dan pemda saat itu.
Yaitu pengembalian lebih dari 50 persen area tambang ke pemerintah, peningkatan penerimaan negara/daerah, percepatan pembangunan smelter, pengalihan Bandar Udara Freeport ke pemda, peningkatan penggunaan produk dalam negeri, peningkatan tenaga kerja lokal, dan divestasi saham secara bertahap.
“Saat semua tuntutan tersebut sudah dapat disepahami, proposal tersebut dibahas di pemerintah untuk mendapatkan jalan keluar win win. Di sinilah awal kekisruhan mulai terjadi karena pelaksanaan tersebut membutuhkan perubahan PP (bukan UU),” kata Said Didu.
DESTRIANITA
Video terkait: