TEMPO.CO, Surabaya – Perhotelan di Surabaya mengeluhkan rendahnya tingkat huni. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sudradjat mengatakan okupansi di Surabaya hanya mencapai 45-50 persen.
“Setiap rapat, banyak dari beberapa hotel yang mengeluhkan rendahnya tingkat huni,” kata Sudradjat saat dihubungi Tempo, Senin, 5 September 2016.
Sudradjat menuturkan, salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat huni ialah kondisi ekonomi yang kurang baik. Menurut dia, acara-acara yang diselenggarakan di Surabaya tahun ini lebih sedikit dibandingkan 2014.
Manajer Komunikasi Pemasaran Hotel Harris-Pop Setiawan Nanang menilai tempat-tempat wisata di Surabaya kurang promosi. Akibatnya, menurut dia, berdampak pada bisnis perhotelan di Surabaya.
“Dinas pariwisata di Surabaya kurang kencang promosinya,” ujar Setiawan saat berkunjung ke kantor Tempo Biro Jawa Timur, di Jalan Gubeng Kertajaya, Surabaya, Kamis, 1 September 2016.
Setiawan berpendapat, beberapa wisata di Surabaya seperti hutan mangrove, Surabaya North Quay, Kenjeran Park atau Ken Park, dan lainnya belum berhasil menarik wisatawan untuk berkunjung. Menurut dia, sebagian besar pengunjung yang datang ke Surabaya bertujuan untuk belanja, bukan berwisata. “Sebenarnya Ken Park itu sudah lumayan, tapi kurang ngangkat,” kata Setiawan.
Dia membandingkan perkembangan pariwisata di Malang dengan Surabaya. Kota yang memiliki julukan Kota Apel ini memiliki banyak tujuan wisata. Tidak mengherankan apabila di sepanjang jalan Kota Malang sering mengalami kemacetan panjang saat menginjak akhir pekan. Setiawan berharap agar Dinas Pariwisata dapat meningkatkan promosi wisata Kota Pahlawan.
Nicky Olivia, Manajer Komunikasi Pemasaran Hotel Harris Malang, menuturkan pada liburan Hari Raya Idul Fitri tahun ini, Kota Malang kebanjiran wisatawan. “Hotel kami panen dua minggu,” ujarnya. Dia menyebut 30 persen penghuni hotel adalah tamu yang bertujuan menghadiri konferensi. Sedangkan 70 persen sisanya adalah tamu individual yang bertujuan berlibur.
Menanggapi keluhan asosiasi perhotelan, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Surabaya M. Fikser mengatakan acara yang diselenggarakan di Kota Surabaya sudah banyak. Menurut dia, kegiatan-kegiatan berskala internasional masih menunjuk Kota Surabaya sebagai tuan rumah.
“Surabaya sering menjadi julukan seminar-seminar nasional, dan kebanyakan tamu-tamu tersebut akan menginap di hotel,” kata Fikser saat dihubungi Tempo, Senin, 5 September.
Fikser melanjutkan, Surabaya tidak hanya mempunyai agenda di tiap bulan. Namun, juga agenda tahunan yang lebih besar seperti perayaan hari jadi Kota Surabaya. “Hampir setiap bulan ada agenda, kami juga sudah melakukan promosi di situs,” ujarnya. Menurut dia, acara-acara tersebut menarik warga lokal maupun masyarakat luar untuk datang berkunjung ke Surabaya.
Fikser mengakui Surabaya memang tidak memiliki banyak wisata alam seperti halnya Malang. Namun, Pemerintah Kota Surabaya telah meluncurkan destinasi wisata yang berbeda seperti kampung-kampung heritage. Kampung wisata sejarah tersebut bisa menjadi ajang pembelajaran budaya bagi pengunjung. Dengan demikian, wisatawan bisa menjadikan kota Surabaya sebagai tujuan wisata pendidikan.
Selain itu, Air Mancur Menari Jembatan Kenjeran yang diresmikan pada Juli lalu telah menjadi ikon wisata baru di Surabaya. Fikser menjelaskan wisata Air Mancur Menari Jembatan Kenjeran memang hanya dibuka pada Sabtu, pukul 20.00–21.00 WIB. Tujuannya, agar pengunjung dapat berjalan-jalan menikmati keindahan air mancur di sepanjang jembatan.
“Kalau dibuka tiap hari ya fungsi dari jembatan itu sendiri berganti,” ujarnya.
Itu sebabnya, Fikser berpendapat, aturan tersebut sebenarnya juga bisa mendongkrak tingkat huni di hotel Surabaya. “Dengan adanya jam operasional, maka pengunjung luar kota Surabaya yang ingin melihat air mancur dapat menginap di hotel,” tuturnya.
JAYANTARA MAHAYU | NIEKE INDRIETTA