TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas mengatakan organisasinya menerima beberapa laporan ihwal Undang-Undang Pengampunan Pajak yang mengungkap adanya keresahan dan ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat, khususnya pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
“Undang-Undang Tax Amnesty ini dari aspek proseduralnya secara demokratis memang cacat moral, moral demokrasi," jelas Busyro saat konferensi pers di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu, 31 Agustus 2016.
"Konkretnya, karena ini menyangkut bukan saja sekelompok kecil orang-orang yang bermasalah dengan utang pajak yang disimpan di luar negeri. Faktanya juga menyangkut kelompok pengusaha UMKM dengan penghasilan 50 miliar ke bawah,” tambahnya.
Baca:
Wapres Persilakan Masyarakat Uji Materi UU Pengampunan Pajak
Wapres JK: Sosialisasi Tax Amnesty Tidak Jelas
Uang Tebusan dari Tax Amnesty Capai Rp 2,69 Triliun
Salah satu laporan, kata Busyro, datang dari Forum Komunikasi Pengusaha Kecil dan Menengah Indonesia (FK-PKMI). Laporan itulah yang mendorong Muhammadiyah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua FK-PKMI Arwan Simanjuntak mengatakan, beberapa pengusaha merasa resah dengan adanya kebijakan amnesti pajak. Salah satu alasannya adalah beberapa petugas pajak salah memberikan total pajak yang harus dibayarkan.
Salah satu kasus, jelas Arwan, dialami oleh pengusaha kecil yang baru berdiri pada April 2011, CV RK. Menurutnya, CV RK sebagai penanggung pajak mendapatkan Surat Tagihan Pajak sebesar Rp 408 juta pada 2012. Namun, CV RK mengajukan Surat Permohonan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atas ketidakwajaran tagihan pajak yang diterima.
“Rekening bank pribadi penanggung pajak sempat diblokir dan membuat CV RK bangkrut. CV RK tidak mengerti soal pajak. Tapi setelah saya dampingi, Kanwil Direktorat Jenderal Pajak mengabulkan permohonan CV RK pada April 2016 sehingga pajak yang harus dibayar CV RK adalah Rp 0. Ini bukti adanya kelalaian petugas pajak,” terang Arwan.
Kasus lainnya berkaitan dengan kebijakan amnesti pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Salah satu perusahaan, PT TK, berniat mengikuti program amnesti pajak. Akan tetapi, Pasal 20 dirasa memberatkan, sebab PT TK harus membayar biaya pokok pajak sebesar Rp 3,2 miliar terlebih dahulu jika ingin mendapat pengampunan pajak.
“Korban yang mendaftar baru dua, tapi kalau mau saya umumkan anggota saya, saya yakin ribuan datang," ujarnya.
"Tanggal 29 kami kirimkan surat kepada Sri Mulyani agar merivisi PMK Nomor 118. Kami meminta dilakukan perubahan PMK tersebut agar tax amnesty dapat dilaksanakan dengan mudah. Sekarang ini formulir rumit dan petugasnya berbelit-belit,” ucapnya.
LANI DIANA | EZ