TEMPO.CO, Jakarta - Penenggelaman kapal yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya diposisikan sebagai pemberi efek kaget. Pemerintah diminta jangan menjadikan penenggelaman kapal sebagai program rutin, seperti yang terjadi saat ini.
"Penenggelaman kapal itu sebagai strategi pemberian efek kaget, menakuti supaya orang tidak lagi mencuri. Jangan dijadikan sebagai hal yang programatik, terlalu besar ongkosnya," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik, Senin, 19 Oktober 2015 dalam jumpa pers di Kantor KNTI, Menteng, Jakarta.
Menurut dia, Kementerian Kelautan melakukan moratorium kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Selama moratorium itu, banyak pelanggaran kapal ikan asing. Riza mengatakan moratorium yang dilakukan KKP jangan terlalu lama. Sebab, hal itu bisa menimbulkan efek buruk, yaitu masyarakat dunia melihat laut Indonesia sebagai laut yang penuh dengan kejahatan. "Tidak baik juga kalau terlalu lama moratorium. Jadi, letakkan saja sebagai shock terapi dan jalankan rangkaian-rangkaian hukum yang lain," kata Riza.
Lebih jauh, Riza menyatakan sejumlah prioritas di bidang undang-undang mesti diselesaikan pemerintah maupun DPR untuk melindungi laut Indonesia dan kehidupan nelayan. Peraturan itu, di antaranya, menuntaskan dan mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Menurut Riza, RUU ini sudah menjadi komitmen lama, tapi sampai sekarang belum terlihat hasilnya. "Kami harap ini diselesakan sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi nelayan."
Peraturan lainnya adalah menyelesaikan peraturan pemerintah (PP) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Kelautan. Riza meminta Menko Maritim Rizal ramli segera mengambil kepemimpinan untuk menyelesaikan utang yang belum selesai ini, yaitu melahirkan PP untuk mengoperasionalisasikan undang-undang. Harapan lain adalah adanya keberpihakan pemerintah terhadap anggaran provinsi/kabupaten/kepulauan. Dalam Undang-Undang Kelautan, sudah ada perintah untuk segera mengalokasikan anggaran khsusus kepada provinsi/kabupaten/kepulauan. Namun belum terlaksana karena PP-nya belum ada.
Pemerintah juga diminta menyusun dokumen kebijakan kelautan nasional. Dokumen ini belum dimiliki padahal penting sebagai visi poros maritim. "Mau kayak apa sih sebenarnya poros maritim itu. Sekarang masing-masing jalan sendiri, ada di KKP, Menko Maritim, Bappenas, terlalu banyak. Ini menunjukan pemerintah belum siap maju ke depan untuk menggenapkan janji-janji menuju poros maritim," kata Riza.
Dokumen induk ini nantinya juga harus diturunkan ke dalam rancangan kebijakan kelautan nasional. Apalagi pemerintah belum punya rencana tata ruang laut nasional. Sesuai dengan komitmen pemerintah, Indonesia, paling lambat Juni 2016, sudah punya rencana tata ruang laut nasional. "Ini untuk rujukan kegiatan eksploitasi, eksplorasi kelautan agar tidak bertentangan atau merugikan nelayan dan pelaku usaha pariwisata," kata Riza.
AMIRULLAH