TEMPO.CO, Jakarta-Direktur Jenderal Listrik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jarman mengatakan denda akibat pemutusan kontrak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Atambua telah dibayarkan. Denda sebesar Rp 14,7 miliar dibayarkan dan selesai pada tahun ini.
"Pemutusan kontraknya awal tahun ini, sekarang denda sudah mulai dibayarkan dan sedang dalam audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan," kata Jarman dalam pesan kepada wartawan, Ahad, 14 Juli 2013.
Sebelumnya, dalam audit Laporan Keuangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun Anggaran 2012, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan belum dibayarkannya denda akibat pemutusan kontrak PLTU di Nusa Tenggara Timur. Anggota IV Badan Pemeriksa, Ali Masykur Musa mengatakan, penagihan denda kepada kontraktor adalah tugas kementerian dan harus segera dilakukan.
Jarman melanjutkan, denda tersebut timbul akibat tak kunjung selesainya proses konstruksi yang ditugaskan kepada kontraktor. Hingga tahun 2012, kontraktor hanya mampu menggarap proyek fisik hingga 15 persen. Padahal, kontrak berlangsung sejak tahun 2008 hingga tahun 2012. "Tahun 2012 kemarin mestinya sudah beroperasi," ujarnya.
Menurut dia, Kementerian sudah berulang kali memberi teguran kepada kontraktor asal Indonesia tersebut. Tapi kontraktor kenyataannya tidak mampu membangun. "Jadi barang sudah sampai, tapi enggak dibangun-bangun, makanya kami putus," ujarnya. Adapun kendala, menurut Jarman bukan berasal dari pendanaan karena anggaran dikucurkan dari APBN. "Itu lebih pada kemampuan dari visi mereka."
Untuk melanjutkan pembangunan pembangkit bertenaga uap dengan kapasitas 4x7 megawatt (MW) ini, kini PT Perusahaan Listrik Negara telah menunjuk unit usaha PLN. "PLN menunjuk cucu perusahaannya, yakni Rekadaya," ujarnya.
Selain PLTU Atambua, pada 2012 lalu PLN telah memutus juga kontrak pembangunan dua PLTU, yakni PLTU Bima (2x10 MW) dan Gorontalo (2x25 MW). Proyek PLTU Bima dan Gorontalo ini merupakan proyek 10.000 MW tahap I.
AYU PRIMA SANDI