TEMPO.CO, Jakarta - Para pedagang buah di pasar induk Kramat Jati mengaku dirugikan atas kebijakan pemerintah membatasi impor produk hortikultura. Kerugian ini terlihat dari penurunan omzet para pedagang buah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta.
Seorang pedagang Kramat Jati, I Putu Mas, mengatakan pembatasan impor produk hortikultura membuat harga hortikultura impor dan lokal naik cukup tajam. Kenaikan ini terjadi karena pasokan buah, baik dari lokal maupun impor, tidak mampu mengimbangi tingginya permintaan.
"Akibatnya kami mengalami penurunan omzet lebih dari 50 persen karena sepi pembeli," kata I Putu usai diskusi ketersediaan buah dan sayur yang digelar Hipmi, di Gedung Palma One, Jakarta, Selasa, 23 April 2013.
Ia menjelaskan, sebelum adanya kebijakan pembatasan impor, setiap bulannya ia mampu meraup omzet hingga Rp 150 juta. Namun sejak pembatasan impor berlaku Januari tahun ini, omzetnya tinggal Rp 30 juta per bulan. Ia menyimpulkan masyarakat mulai enggan membeli buah karena harga yang sudah melambung.
Kenaikan harga buah ini terjadi hampir di seluruh jenis, baik produk impor maupun lokal. Seperti misalnya harga buah jeruk Ponkam dari sebelumnya hanya Rp 2.000 per buah, sekarang melonjak menjadi Rp 13 ribu per buah. Lalu apel Washington dari harga Rp 320 ribu per dus (isi 18 kilogram), kini sudah mencapai Rp 800 ribu per dus.
Putu meminta pemerintah membuka pintu impor seperti sebelumnya. Tujuannya supaya pasokan di pasar seimbang sehingga harga tidak melambung tinggi.
Pedagang buah di pasar induk Kramat Jati lainnya, Sri Asih, mengakui harga buah sedang melambung di atas kewajaran. Sebabnya, pasokan buah secara drastis menurun, seperti pasokan duku berkurang 20 persen.
Ia menyebutkan, beberapa jenis buah lokal yang mengalami kenaikan harga cukup tinggi di antaranya jeruk Pontianak dari harga normal Rp 12 ribu per kilogram menjadi Rp 28 ribu per kilogram. Kemudian apel Malang dari harga Rp 180 ribu per karton (isi 20 kilogram) menjadi Rp 600 per karton. "Tolong kepada pemerintah menjaga keseimbangan pasokan ini baik dari lokal maupun impor. Dengan impor dikurangi ini kami rugi," katanya.
Peneliti Pusat Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor, Sobir, mengatakan pembatasan impor yang diberlakukan pemerintah perlu diimbangi dengan aksi cepat memperbaiki komoditas hortikultura lokal. "Sehingga begitu pembatasan dicabut kita lebih siap," ujarnya.
Menurut Sobir, pemerintah perlu membuat kawasan produksi khusus hortikultura di banyak wilayah Indonesia. Selama ini produksi lokal kurang mampu memenuhi kebutuhan nasional karena kurangnya lahan tanam hortikultura. Untuk komoditas buah saja, ia menambahkan, lahan tanam Indonesia hanya 800 ribu hektare.
"Dibandingkan dengan India yang punya luas 5 juta hektare dan Cina 11 juta hektare, lahan kita tergolong rendah sekali. Apalagi jumlah penduduk kita mencapai 245 juta orang, jelas ini kurang," kata Sobir.
Ia meminta pemerintah bergerak cepat memetakan kawasan produksi di sejumlah wilayah. Petani juga sebaiknya diarahkan untuk menanam secara serentak untuk satu komoditas tertentu agar melakukan panen bersamaan. Sebab, kata dia, kebanyakan truk pengangkut tidak mau mengangkut barang jika tidak dalam jumlah besar.
ROSALINA
Topik Terhangat:
Caleg | Ujian Nasional | Bom Boston | Lion Air Jatuh | Preman Yogya
Berita Terpopuler:
Dinasti Banten Rame-rame Jadi Caleg DPR dan DPD
Izinkan Nazar Berobat, Kepala LP Cipinang Dicopot
Fakta-fakta Mengarah ke Motif Pelaku Bom Boston
Bom Boston, FBI Harus Jawab 5 Hal Ini
Mourinho Diusir, Presiden Madrid Serukan Persatuan