TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara PT Kereta Api Indonesia (KAI), Mateta Rijalulhaq, mengatakan, pihaknya masih belum menerima dana perawatan prasarana kereta api selama empat tahun terakhir. "Yang tidak turun sama sekali itu adalah biaya perawatan untuk prasarana atau infrastructure maintenance and operation (IMO)," kata Mateta saat ditemui di Hotel Dharmawangsa, Rabu malam, 13 Maret 2013.
Ia mengungkapkan, dana IMO senilai Rp 1,7 triliun per tahun tidak pernah cair dari pemerintah selama empat tahun belakangan. Mateta mengatakan, saat ini KAI melakukan perawatan dengan biaya sendiri. “Dana perbaikan prasarana akibat longsor di Cilebut pada November 2012 tidak pernah diterima KAI hingga saat ini.”
Jika pengerjaan perbaikan harus menunggu IMO, katanya, tidak akan selesai. Perbaikan prasarana di Cilebut menggunakan dana yang dikeluarkan KAI, seperti halnya perbaikan di jalur Latuharhary, Jakarta. Jalur kereta di Latuharhary sempat tidak bisa dilalui akibat jebolnya tanggul di sekitar jalur tersebut. "Masyarakat tidak mau tahu, itu urusan KA, padahal di situ ada IMO yang harusnya untuk dana prasarana," kata Mateta.
Berdasarkan undang-undang, dana prasarana kereta api seharusnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ketentuan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian serta Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2012 tentang kewajiban pelayanan publik dan subsidi angkutan perintis bidang perkeretaapian, biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara, serta perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik negara.
Mateta mengungkapkan, PT KAI telah menyampaikan mengenai dana IMO itu dalam rapat dengar pendapat di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Dewan, PT KAI menyatakan, selama ini untuk perbaikan dan perawatan persinyalan, termasuk di wilayah Bogor yang kerap mengalami gangguan, menggunakan dana KAI sendiri. “Bahkan, KAI harus membayar pajak yang lebih besar dari PSO Rp 704 miliar kepada negara.”
MARIA YUNIAR