TEMPO.CO, Jakarta-Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan menilai, perlu ada regulasi terkait pinjaman langsung perusahaan ke luar negeri (offshore). Menurut dia, masih ada pinjaman luar negeri yang tidak terdeteksi.
"Meski BI sudah melakukan monitoring devisa mulai tahun 2000 - 2001. Tapi apakah benar-benar sudah mencatat perkembangannya. Paling tidak, monitoring harus lebih ketat lagi," ucap Anton kepada Tempo, kemarin.
Anton menilai perlu ada kejelasan juga tentang regulator yang berwenang mengawasi utang di sektor non keuangan. Mengacu pada regulasi monitoring devisa, seharusnya perusahaan non keuangan juga melaporkan utangnya ke BI. Namun, ia menegaskan perlu ada kejelasan soal ini.
Anton belum bisa memastikan apakah perlu ada regulasi khusus yang mengatur rasio utang terhadap modal atau aset untuk perusahaan non keuangan. Namun, itu sangat tergantung jenis usaha, tidak bisa dipukul rata. Dampaknya inefisiensi.
Anton juga menilai pentingnya masalah utang dengan jaminan saham. Utang seperti itu bisa menimbulkan masalah ketika terjadi krisis. Harga saham anjlok yang berakibat pada berkurangnya nilai jaminan.”Akhirnya perusahaan harus menambah atau membayar sebagian untuk menutup jaminan. Itu lebih berbahaya. Ini pernah terjadi tahun 2008 lalu.”
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, utang luar negeri swasta terus menunjukkan peningkatan. Dalam lima tahun, utang luar negeri swasta naik 87,87 persen dari posisi US$ 56,813 miliar pada 2006 menjadi US$ 106,732 miliar pada 2011. Perkembangan terakhir, sampai September 2012, utang luar negeri swasta sudah mencapai US$ 123,270 miliar.
MARTHA THERTINA