Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G. Ismy, jika revisi aturan itu tidak kunjung terbit bisa menghambat program pemerintah merestrukturisasi permesinan. Restrukturisasi ini tadinya berupa pemberian insentif sebesar 10 persen untuk pembelian mesin-mesin impor.
Besarnya biaya administrasi dan biaya tambahan untuk impor barang modal ditengarai menghambat restrukturisasi tersebut. “Pemberian insentif 10 persen untuk program restrukturisasi tidak akan efektif karena pelaku usaha TPT terkena potongan biaya pembelian mesin impor sebesar 5 persen," katanya.
Belum lagi insentif berkurang 3 persen dan biaya pembuatan dokumen sebesar 1 persen. "Seperti di satu sisi diberi tapi di sisi lainnya kami diminta."
Sehingga nantinya pelaku usaha TPT hanya akan memperoleh 1 persen dari insentif untuk program restrukturisasi permesinan. "Manfaat yang diterima jadi sangat sedikit, insentif sebesar 1 persen itu tidak akan banyak berarti bagi pengusaha teksti" imbuhnya.
Sementara itu Direktur Tekstil dan Aneka Ditjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Budi Irmawan mengatakan bahwa program restrukturisasi permesinan untuk industri TPT tersebut adalah bantuan dari pemerintah untuk meringankan investasi. Ia menilai adanya PMK 241 memang membuat pelaku usaha menambah biaya untuk impor mesin sebesar 5 persen.
Saat ini pemerintah masih berusaha untuk mengembalikan biaya impor mesin ke nol persen. “Melalui revisi PMK 241 yang akan segera diterbitkan pemerintah dalam waktu dekat,”ujar Budi.
Saat ini, masih banyak mesin sektor spinning, mesin weaving, mesin knitting, dan mesin garmen yang berusia lebih dari 20 tahun. Sehingga untuk menjaga kelancaran produksi, mesin-mesin tersebut perlu diganti dengan yang baru.
AGUNG SEDAYU