TEMPO.CO, BANDUNG - Turkish Aerospace Industry, menjadi salah satu perusahaan yang tertarik dengan pesawat N219. Pesawat perintis N219 ini produk baru PT Dirgantara Indonesia yang sukses menjalani uji terbang perdananya.
“Turki (TAI) mau kerjasama dengan kita untuk memproduksi N219 di sana, untuk dipasarkan di Afrika,” kata Arie Wibowo Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Selasa, 5 September 2017.
Simak: PT Dirgantara Indonesia Mulai Pasarkan Pesawat N219
Arie mengatakan, PT Dirgantara Indonesia juga tertarik dengan tawaran kerjasama TAI tersebut. “Sangat logis, karena N219 itu pesawatnya kecil, kala musti kirim ke Seneagal atau ke mana (di Afrika), berapa hari mengirimnya, mending diproduksi di sana lebih dekat,” kata dia.
TAI merupakan perusahaan negara milik Turki yang kini memproduksi sejumlah pesawat jet latih tempur, helikopter tempur, UAV medium. “Sepuluh tahun lalu kita bantuin mereka bikin program Maritim Patrol, sekarang dia lebih jagoan dari kita karena komtimen pemerintahnya,” kata Arie.
Baca juga:
Arie megnatakan, bentuk kerjasama antara TAI dan PT DI itu masih dijajaki. “Kita belum tahu, tapi kita ingin dia mau sebagai perusahaan milik negara, kita perusahaan milik negara, jadi ada semacam kerjasama G to G karena Presiden kita pernah ke sana. Kita turunkan kerjasama itu dengan B to B di bawah naungan kerjasama G to G tadi. Tapi bentuk kerjasamany masih di jajaki,” kata dia.
Menurut Arie, tawaran itu datang selepas PT Dirgantara Indonesia sukses menjalankan tes terbang perdana pesawat perintis N219 pada 16 Agustus 2017 lalu. “Kita lagi menjajaki kerjasamanya. Dia sangat interest dengan N219. Bagi kita itu menandakan produk ktia bisnisnya available. Di Turki tidak ada kebutuhan (pesawat itu) tapidi Afrika banyak,” kata dia.
Arie mengatakan, spesifikasi pesawat N219 sejak awal memang dirancang membidik pasar luar negeri seperti Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin, selain untuk dipergunakan sebagai pesawat perintis di wilayah Indonesia bagian timur. “Ktia gak masuk North America dan Eropa karean kebutuhan mereka pada pesawat jet yang besar, karena infrastruktur sudah established jadi gak perlu pesawat perintis dan semi perintis,” kata dia.
Selain Turki, sejumlah negara juga sudah menyatakan tertarik untuk menggunakan N219. “Negara Asia Tenggara seperti Thailand, dia memberi apresiasi dan ingin ikut membeli. Selain Thailand, Myanmar, dan beberapa negara lain,” kata Arie.
Sejumlah perusahaan dalam negeri juga sudah menyatakan keseriusannya untuk memesan pesawat N219 itu. Jumlah pesanannya berkisar 50-100 unit pesawat. “Ada dua entitas perusahaan yang sudah bicara cukup serius dengan kita. Saya gak mau ngasih tahu dulu, ada yang berniat beli banyak tapi dia butuh insentif dari pemerintah,” kata Arie.
Arie mengatakan, penjualan pesawat itu baru bisa dilakukan setelah N219 mengantungi sertifikasi. Saat ini PT DI masih melakukan penggenapan 200 jam uji terbang yang ditargetkan rampung tahun depan agar pesawat itu mengantungi sertifikasi dari Kementeiran Perhubungan agar bisa dipasarkan di dalam negeri. “Kalau gak ada sertifikasinya, kita gak bisa jual,” kata dia.
Pengembangan pesawat N219 bersama dengan Lapan itu sudah menghabiskan biaya Rp 800 miliar. Sedikitnya masih dibutukan tambahan Rp 200 miliar lagi untuk membiayai perampungan 200 jam tes uji terbang agar bisa mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Perhubungan. Arie mengatakan, potensi kebutuhan pesawat perintis yang bisa dimasuki oleh N219 itu di dalam negeri ditaksir 100 unit. “Kalau potensi di seluruh dunia bisa jauh lebih besar. Tapi pesaing kita banyak, China, dan Twin Otter dari Kanada. Kita gak mau terllau maruk, tapi kemungkinan 100-150 unit bisa kita dapatkan,” kata dia.
Arie mengklaim, harga jual pesawat N219 ditaksir jauh lebih murah dari pesaingnya. “Taksirannya di kisaran 6 juta dollar AS,” kata dia.
Kendati demikian, dia berharap pemerintah bisa memberikan sejumlah insentif agar pesawat perintis N219 buatan Indonesia itu bisa dipergunakan massif di Indonesia. “Kalau Indonesia membeli barangnya sendiri, negara tetangga akan membelinya juga. Jadi gak perlu promosi, kalau di Indonesia banyak dipakai pesawat sendiri, orang luar akan beli,” kata Arie.
Arie mengatakan, insentif yang dibutuhkan itu diantaranya pemberian fasilitas keringanan pajak, subsidi bunga, hingga subsidi bagi layanan penerbangan perintis bagi operator dalam negeri yang mengoperasikan pesawat perintis dalam negeri seperti N219. “Kita akan coba usulkan secara bertahap supaya case kita benar. Karena pemerintah juga tidak hanya memikirkan PT DI, kita cari ‘timing’ yang tepat untuk mengajukan itu,” kata dia.
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, Elfien Goentoro mengaku belum bisa bicara banyak soal rencana ke depannya mempimin perusahaan itu setelah menggantikan Direktur Utama yang lama, Budi Santoso. “Ini masih baru, baru masuk dua hari. Nanti kalau sudah waktunya akan disampaikan. Yang paling penting, kita meneruskan yang sudah terbangun saat ini seperti pesawat N219 agar segera selesai sertifikasinya dan bisa komersialisasi,” kata dia, Selasa, 5 September 2017.
AHMAD FIKRI