TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan dana haji sebaiknya tidak digunakan membangun infrastruktur, tapi digunakan ke investasi di sektor properti yang dampaknya bisa dirasakan oleh jemaah haji. Ia melihat ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
"Bahwa tujuan pengelolaan keuangan haji untuk penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas," kata Bhima saat ditemui di restoran Puang Oca, Jakarta, Ahad, 6 Agustus 2017.
Bhima melihat ada risiko jika dana haji digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Ia mengungkapkan, sampai Februari lalu, realisasi infrastruktur yang sudah jadi baru 9 persen, dan sekitar 46 persen masih dalam perencanaan dan tahap lelang. "Belajar dari proyek kereta cepat, sehabis groundbreaking tak ada kabarnya lagi."
Baca: Pesan Jokowi Soal Dana Haji: Dihitung yang Cerman, Ini Dana Umat
Presiden Joko Widodo sebelumnya menyampaikan keinginan menginvestasikan dana haji ke pembangunan infrastruktur. Ia mengatakan hal ini setelah melantik anggota Dewan Pengawas dan anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 26 Juli 2017.
Menurut Bhima, dana haji dapat digunakan membangun hotel atau apartemen di Mekkah yang bisa digunakan oleh jemaah haji, sehingga biaya naik haji bisa lebih murah. Setelah musim haji, properti tersebut bisa digunakan untuk kepentingan profit atau komersial, misalnya dilakukan saat masa umrah. "Transparansi pengelolaan dana haji menjadi faktor yang krusial."
Simak: Dana Haji Rp 70 Triliun, MUI Sarankan Ini
Baca Juga:
Bima mengungkapkan, Indonesia harus belajar dari pengalaman Malaysia dalam menggunakan dana haji. Diketahui dari total jumlah dana haji Malaysia yang tercatat sebesar Rp 198,5 triliun, sebesar 9 persen masuk ke konstruksi atau real estat berupa investasi langsung.
Sedangkan 17 persen penempatan dana obligasi juga dimanfaatkan untuk investasi tidak langsung dalam pembangunan properti atau konstruksi. Ini membuat Malaysia tidak menempatkan dana haji untuk kepentingan infrastruktur, melainkan membangun konstruksi/real estat dengan tingkat return atau imbal hasil yang tinggi.
Bima menjelaskan, Malaysia telah membangun aneka properti yang memiliki keuntungan jangka panjang, misalkan Hotel Tabung Haji di Keddah dan Bay Pavilions di Sydney melalui dana haji. Selain itu, hasil keuntungan dari pengelolaan dana haji di Malaysia sebagian kembali lagi ke jemaah haji dalam bentuk subsidi.
Bhima memandang pengalaman negara lain seperti Malaysia memberikan pelajaran berharga bagi pengelolaan dana haji di Indonesia. Ia melihat pemerintah harus memikirkan berinvestasi di sektor yang bisa mendapatkan return investasi di atas 15 persen.
DIKO OKTARA