TEMPO.CO, Jakarta - Pekerja PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc., yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport meminta pemerintah melanjutkan operasi perusahaan. Sikap pemerintah dianggap mengancam kelangsungan pekerja di tambang Grasberg, Papua.
"Jangan sampai regulasi berdampak pada kelangsungan pekerja. Kami rakyat Timika yang berdarah-darah menghadapi konsekuensi ini,," ujar Juru Bicara pekerja Virgo Solossa, dalam unjuk rasa yang digelar di depan kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kemarin.
Baca : Komnas HAM: Tak Ada Jual-Beli Tanah di Tambang Freeport
Dia meminta pemerintah konsisten dengan kontrak karya yang berlaku sampai 2021. Virgo merasa perusahaannya berhak mengekspor konsentrat tembaga ke luar negeri. Hak tersebut, menurut dia, telah dibatalkan sepihak oleh Kementerian Energi sejak 12 Januari 2017 lalu.
Virgo mencatat hingga hari ini sudah ada 1.500 orang yang tidak lagi bekerja di Freeport. CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson, mengatakan gelombang perumahan karyawan bakal berdampak hingga 11 ribu orang. Total karyawan Freeport saat ini mencapai 32 ribu orang.
"Kami berpotensi kehilangan tambang untuk selamanya. pemerintah akan sangat bijak bila menghormati kontrak karya," ucapnya.
Operasional Freeport yang berhenti juga berdampak pada produk domestik regional bruto Timika. Virgo melaporkan saat ini konsumsi masyarakat Timika berkurang drastis lantaran ogah mengeluarkan banyak uang tanpa kepastian kelangsungan kerja. Diketahui, Freeport menyumbang 91 persen PDRB Timika.
Baca : Setelah Raja Arab, Wisatawan Timur Tengah Diprediksi Banjiri Bali
Hal lainnya yang terancam terhambat adalah pelayanan kesehatan gratis dari Freeport ke 154 ribu warga timika. "Ini kondisi yang tidak diketahui, Timika bisa menjadi kota mati. " tutur Virgo.
Saat dikonfirmasi soal ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan enggan berkomentar. Namun sebelumnya, dia memastikan negosiasi kelanjutan operasi Freeport masih berlangsung hingga enam bulan. Sementara Freeport menginginkan kepastian operasi dalam waktu 120 hari. Jika masih buntu, perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat itu bakal menggugat pemerintah ke arbitrase internasional.
ROBBY IRFANY