TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan usulan agar badan usaha milik negara (BUMN) sektor tambang mengambil alih tambang Freeport berasal dari Menteri BUMN, Rini Soemarno. Meski begitu mekanismenya pengambilalihannya masih dibicarakan lebih lanjut.
"Itu usulan dari Menteri BUMN, nantilah kita lihat (ke depannya)," kata Luhut saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, hari ini, Senin, 27 Februari 2017.
Baca : Pemerintah Siapkan Inalum untuk Kelola Freeport
Luhut menjelaskan ke depannya bisa saja BUMN pertambangan disiapkan bersama dengan sektor swasta, untuk mengambil alih tambang Freeport, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc. Dia melihat opsi-opsi seperti itu masih terbuka. "Ya bisa saja disiapkan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), bisa saja Inalum, Antam, dengan private sector."
Ketika ditanyakan apakah mekanismenya akan membeli divestasi sahamnya, ataukah menunggu kontrak Freeport habis di 2021, Luhut menjawab pemerintah masih menimbang mana opsi yang terbaik. "Kami lihat nanti mana yang terbaik, pilihan-pilihannya sudah jelas, ada Undang-Undangnya, ada agreementnya," ucap dia.
Meski begitu, Luhut menuturkan pemerintah masih ingin berbicara baik-baik dengan Freeport, agar ada win-win solution atas masalah yang ada. Luhut menegaskan pembicaraan dengan Freeport tentu tak boleh mengabaikan kepentingan nasional Indonesia.
Baca : Tak Ada Operasi, Ribuan Pekerja Kontrak Freeport Dirumahkan
Luhut mengungkapkan pemerintah akan mencari jalan terbaik, dibandingkan harus ke arbitrase internasional. Alasannya karena jika dibawa ke arbitrase merupakan zero sum game atau ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. "Mestinya tak ada yang mau (ke) arbitrase, itu zero sum game namanya."
Luhut sebelumnya mengatakan kalau BUMN pertambangan bisa mengambil alih tambang Freeport. Salah satu BUMN yang dipertimbangkan adalah Inalum. Pemerintah melalui Kementerian BUMN sedang membentuk holding BUMN tambang, di mana Inalum direncanakan akan menjadi perusahaan induk membawahkan Antam, PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA), dan PT Timah (Persero) Tbk (TINS).
Hal itu dilakukan jika pemerintah memenangkan gugatan yang dilayangkan Freeport ke arbitrase Internasional. Menurut Luhut, Inalum akan sanggup untuk mengambil alih pengelolaan Freeport Indonesia karena tambang Freeport saat ini sudah bukan green field. Saat ini pemerintah sedang dalam proses perundingan dengan Freeport mengenai peralihan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Chief Executive Officer Freeport-McMoran, Richard Adkerson, sebelumnya menyatakan telah memberikan waktu 120 hari kepada pemerintah untuk mempertimbangkan perbedaan pendapat antara kedua belah pihak. Sebab Freeport masih tetap mempertahankan untuk mengacu pada KK. Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua belah pihak pada Senin, 13 Februari 2017.
Baca : Empat Pembangkit Panas Bumi Beroperasi Tahun Ini
Jika tidak selesai, maka Freeport akan melanjutkan persoalan ini ke arbitrase internasional. Adkerson menuding pemerintah melanggar ketentuan KK Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Freeport pun menolak mengubah statusnya menjadi IUPK dengan dalih membutuhkan kepastian untuk kelancaran investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15 miliar hingga 2041. Perusahaan itu juga menolak kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Untuk diketahui, pada 11 Januari 2017 lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau biasa disingkat PP Minerba.
PP ini menegaskan perusahaan pemegang KK harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tidak membangun smelter maka dilarang ekspor. Kemudian jika ingin tetap ekspor harus mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Dengan menjadi IUPK, maka Freeport juga berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun ini.
Pada 25 Januari 2017 lalu, perusahaan tambang emas dan tembaga ini juga sempat menyatakan mempertimbangkan langkah hukum (legal action) untuk menggugat pemerintah Indonesia. Langkah itu menyusul perusahaan tidak mendapatkan izin ekspor. Sebab berdasarkan KK, Freeport memiliki hak untuk mengekspor konsentrat tembaga tanpa pembatasan atau kewajiban membayar bea ekspor.
DIKO OKTARA