TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Indonesia saat ini tengah mengalami deindustrialisasi yang terlalu dini. Sebaliknya, sektor jasa yang mengalami pertumbuhan dipandang hanya mendukung industri luar negeri.
"Peranan industri Indonesia sudah mencapai titik nadir, bahkan paling rendah selama dua dekade terakhir," kata peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 9 Februari 2017.
Baca: Pemerintah Ambil Alih Pengelolaan Migas dari Chevron
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perdagangan menyatakan tren ekspor sektor industri tumbuh negatif sebesar 2,59 persen pada 2016 dibanding 2015. Sejalan dengan itu, impor bahan baku dan penolong serta barang modal ikut seret, masing-masing turun 8,6 persen dan 11,8 persen pada periode yang sama.
Dari catatan Indef, ekonomi Indonesia saat ini didominasi sektor nontradable, seperti jasa, hingga 59 persen. Sedangkan sektor tradable, seperti industri pengolahan, pertanian, pertambangan, dan penggalian, hanya menyumbang 41 persen terhadap produk domestik bruto.
Pertumbuhan sektor jasa, menurut Heri, adalah hal wajar, tapi diharapkan mampu mendukung industri manufaktur dalam negeri. "Kenyataannya, sebagian besar subsektor industri manufaktur (besar dan sedang) justru mengalami penurunan pertumbuhan produksi pada kuartal keempat 2016 secara tahunan," ucapnya.
Baca: Pemerintah Hentikan Sementara Impor Daging Kerbau Asal India
Konsumsi rumah tangga pada 2016 meningkat dari tahun sebelumnya, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 5,02 persen pada periode tersebut. "Namun hal tersebut diikuti impor barang konsumsi yang juga ikut meningkat 13,75 persen pada 2016 dari 2015."
Sektor jasa yang tumbuh, seperti transportasi dan pergudangan, informasi dan komunikasi, ujar Heri, ternyata lebih banyak untuk mendukung industri manufaktur luar negeri ketimbang industri dalam negeri. "Situasi inilah yang membuat deindustrialisasi terjadi terlalu dini atau dominasi sektor jasa tumbuh terlalu cepat," tutur Heri.
Heri mengatakan deindustrialisasi dini tersebut terjadi karena pemerintah belum mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk proses penciptaan nilai tambah dan perluasan lapangan kerja yang optimal.
FAJAR PEBRIANTO