TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki perdagangan akhir pekan menjelang libur natal, indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan rawan koreksi lanjutan. Pelemahan tersebut menyusul minimnya insentif positif dan tipisnya volume perdagangan.
Menurut analis dari First Asia Capital, David Sutyanto, saat ini, pelaku pasar cenderung bermain aman dan melakukan aksi beli selektif dalam volume terbatas. Mereka terutama menyasar saham-saham yang memiliki isu individual menarik, seperti pembagian dividen interim.
"IHSG secara teknikal akan bergerak dengan support di angka 5.010 dan resisten pada posisi 5.110 cenderung di teritori negatif," kata David dalam pesan tertulisnya, Jumat, 23 Desember 2016.
Pada perdagangan saham kemarin, transaksi kembali didominasi tekanan aksi jual pemodal. IHSG untuk delapan hari perdagangan berturut-turut mengalami koreksi dan kemarin ditutup di posisi 5.042,87 atau terkoreksi 68,52 poin (1,34 persen). "Ini merupakan posisi penutupan terendah IHSG sejak perdagangan 11 Juli 2016," ucap David.
Kenaikan outlook utang Indonesia menjadi positif dari stabil dengan rating “BBB-“ oleh Fitch tidak mempengaruhi minat beli pemodal. Semua saham sektoral mengalami koreksi. Menjelang libur natal di tengah tipisnya animo bertransaksi, pelaku pasar cenderung menghindari memegang aset berisiko, terutama karena dibayangi meningkatnya risiko keluarnya modal asing atau capital outflow.
Arus dana asing terus keluar pasar. Kemarin, penjualan bersih di Pasar Reguler mencapai Rp 175 miliar. Pekan ini saja, penjualan bersih asing di pasar reguler telah mencapai Rp 1,61 triliun. Adapun kemarin rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah tipis 0,07 persen di posisi 13.469.
Tadi malam, pasar saham global bergerak konsolidasi, ditutup tipis di teritori negatif di tengah perdagangan yang tipis. Indeks DJIA serta S&P di Wall Street masing-masing terkoreksi 0,12 persen dan 0,19 persen di posisi 19.918,88 serta 2.260,96. Harga minyak mentah tadi malam di Amerika menguat 0,4 persen di angka US$ 52,68 per barel. "Menjelang libur natal, pelaku pasar cenderung menahan diri untuk bertransaksi," tutur David.
Data ekonomi Amerika yang keluar tadi malam, yakni core durable goods orders pada November 2016 yang naik 0,5 persen dibanding Oktober (MOM) di atas perkiraan 0,2 persen, kembali mengkonfirmasi peningkatan aktivitas bisnis di negara adidaya tersebut dan akan memperkuat rencana ekonomi Presiden Amerika terpilih Donald Trump mendorong pertumbuhan ekonomi.
Merespons data tersebut, dolar Amerika cenderung menguat dan yield obligasi Amerika 10 yr naik 0,4 persen di angka 2,55 persen. Ekspektasi atas penguatan dolar pada 2017 dan kenaikan bunga The Fed telah meningkatkan risiko capital outflow di emerging market, termasuk di Indonesia. Hal ini telah menekan pasar saham Indonesia beberapa pekan terakhir.
DESTRIANITA