TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengaku heran dengan masih tingginya suku bunga kredit perbankan di Indonesia. Padahal, menurut mantan Gubernur DKI Jakarta ini, negara-negara lain mampu menerapkan suku bunga kredit rendah. "Apa yang keliru dan salah?" katanya di Balai Kartini, Jakarta, Rabu, 30 Maret 2016.
Jokowi berpendapat, masih tingginya suku bunga karena biaya dana bank (cost of fund) yang menjulang. Penyebab melambungnya biaya dana bank, menurut dia, dipengaruhi perusahaan-perusahaan yang memilih menaruh dananya yang besar di bank dengan bunga deposito tinggi. "Ini yang mau kami kendalikan. Tapi kami tidak mau mempengaruhi swasta," ujar Jokowi.
Sejauh ini, ucap Jokowi, banyak badan usaha milik negara yang menaruh uang di bank demi mendapat bunga deposito. Langkah tersebut, tutur dia, justru tidak mendorong pertumbuhan sektor produktif. "Duit hanya ditaruh saja. Kalau superholding jadi, tidak akan bisa lagi seperti ini."
Dengan pembentukan induk usaha (holding), Jokowi optimistis investment company mampu memutar uang agar lebih produktif. Dengan begitu, margin besar bagi perusahaan dan sektor riil bakal otomatis tercipta. "Dengan suku bunga tinggi, menurut saya, bukan pendidikan yang baik. Ini harus diubah," kata Jokowi.
Pemerintah terus melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Jokowi menjelaskan, koordinasi tersebut untuk menyelaraskan kebijakan di sektor moneter dan fiskal dengan sektor riil. "Kalau tidak sering rapat, enggak bisa berjalan. Tapi ini bukan intervensi," ucapnya.
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmojo menuturkan perseroan tengah merencanakan menurunkan semua bunga deposito, termasuk special rate. Dengan penurunan suku bunga, dia yakin biaya dana bank mengalami tren penurunan, sehingga likuiditas terjaga. "Apalagi giro wajib minimum juga sudah diturunkan," ujarnya. "Harusnya ada ruang bagi kita menurunkan bunga."
SINGGIH SOARES