TEMPO.CO, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran memperkirakan kereta cepat berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara. Perhitungan ini didasarkan kurs dolar dan yuan, jumlah penumpang, dan frekuensi kereta.
Peneliti Junior FITRA Gulfino Guevarrato mengatakan setelah diperhitungkan secara kasar utang yang harus dibayar pemerintah per tahun cukup tinggi. Untuk pembiayaan persentase pinjaman dari Cina adalah 75 persen dan 25 persen sumbangan dari dalam negeri.
"Secara kasar ini berpotensi untuk rugi, karena itu kami meminta untuk diperhitungkan kembali," kata Gulfino di Jakarta, Senin, 15 Januari 2016.
Nilai proyek kereta cepat diperkirakan mencapai Rp 73 Triliun dengan panjang lintasan 140,9 Km. Harga tiket kereta diperkirakan Rp 225 ribu. Setiap hari kereta cepat akan beroperasi 11 set dan tiap setnya membawa 583 penumpang. Total penumpang yang dapat dibawa setiap hari 6.413 penumpang untuk satu kali jalan atau 12.826 penumpang pp. Jika kereta terisi penuh, pemasukan mencapai Rp 2,8 miliar per hari.
Masalahnya, kata Gulfino, tak setiap hari kereta mampu mengangkut penumpang sebanyak itu. Apalagi trend penumpang kereta Parahyangan yang dimiliki oleh FITRA menunjukkan penumpang kereta cenderung turun dari tahun ke tahun.
FITRA juga memperkirakan utang yang harus dibayar pemerintah kepada Cina mencapai Rp 2,95 triliun. Perhitungan ini didasarkan pada kalkulasi kurs beserta bunganya dengan kurs dolar Rp 13.900.
Apabila dibagi perhari maka Indonesia harus membayar utang sekitar Rp 8,2 miliar setiap hari. Sehingga pemasukan dari tiket belum dapat memenuhi utang yang dimiliki oleh pemerintah.
Hal ini belum dihitung dampak kerugian ekologi yang dihasilkan. Perhitungan kerugian baru sebatas anggaran saja.Keuntungan yang didapatkan oleh kereta cepat baru sebatas jumlah tenaga kerja yang diserap. Karena itu, FITRA meminta pemerintah untuk kembali mengkaji mengenai untung rugi kereta cepat.
MAWAWARDAH NUR HANIFIYANI