TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan pihaknya menstabilkan lonjakan harga daging sapi melalui operasi pasar. "Kami menggunakan sisa stok 4.000 ekor sapi untuk melakukan operasi pasar," ucap Djarot, Jumat, 22 Januari 2016.
Djarot berujar, operasi pasar itu difokuskan untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Alasannya, 70 persen konsumsi daging sapi nasional berada di wilayah Jakarta. Dan wilayah Ibu Kota dianggap paling terpengaruh oleh lonjakan harga dibanding daerah-daerah lain. Operasi pasar ini dimaksudkan untuk menurunkan harga daging sapi setelah ada lonjakan harga akibat kebijakan mengenakan PPN sapi.
Menurut Djarot, dalam operasi pasar, Bulog menjual sapi dengan harga Rp 40-41 ribu per kilogram sapi hidup. Dalam bentuk karkas, harga daging sapi itu Rp 82 ribu per kilogram. Jadi di tingkat konsumen, harga daging sapi Bulog sekitar Rp 100 ribu per kilogram.
Djarot mengakui, penggelontoran 4.000 ekor sapi itu relatif kecil. Apalagi kebutuhan sapi untuk Jakarta sebesar 2.000 ekor per hari. "Aduh, sebenarnya saya juga malu, sebab itu kecil sekali dibanding kebutuhan," ujar Djarot. Karena itulah, penggelontoran tidak dilakukan sekaligus 4.000 ekor sapi, tapi bertahap.
Persoalan lonjakan daging sapi ini, tutur Djarot, harus dicarikan solusi permanen. Dia mencontohkan Jakarta dengan tingkat konsumsi 70 persen daging sapi secara nasional. Padahal Ibu Kota tidak mempunyai peternakan dan sangat tergantung pada pasokan sapi dari daerah lain atau sapi impor.
Di sisi lain, ketentuan pemotongan sapi impor harus dilakukan dalam waktu 120 hari. Sebab, sapi-sapi impor itu harus digemukkan dulu selama empat bulan. "Saya ada pemikiran, apakah ketentuan penggemukan 120 hari itu sebaiknya dikurangi untuk mengantisipasi lonjakan harga?" kata Djarot.
Bila pemangkasan waktu penggemukan tidak bisa dilakukan, Djarot meminta prediksi analisis serta kebijakan mengenai pasokan dan kebutuhan daging sapi hari ini harus bisa dilakukan empat bulan sebelumnya.
AMIRULLAH