TEMPO.CO, Denpasar - Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2016, tak semua pelaku industri jasa pelayanan wisata ketar-ketir. President Director Karang Bali Asli Tur, Putu Winastra, mengatakan, para pelaku industri pariwisata di Bali tak perlu terlalu risau dengan pembukaan pasar ASEAN itu. Winastra menilai, jika ditinjau dari segi kualitas, sumber daya manusia di Bali sudah banyak yang disertifikasi.
“Kita harus bisa membentengi diri sehingga orang lain tidak serta-merta bisa masuk ke wilayah kita. Ketika berbicara pariwisata di Bali, yakni pelaku pariwisata ini, orang Bali. Orang bali harus siap pengetahuan tentang Bali dan bahasa asing agar turis merasa nyaman,” katanya saat ditemui Tempo di kantornya, di Jalan Trengguli I No. 14, Denpasar, Jumat, 4 Desember 2015.
Pria yang sudah merintis usaha travel agent sejak tahun 1999 itu terbilang cukup gemilang. Kini ia sudah memiliki tiga kantor cabang. Dahulu, kata dia, keinginannya berbisnis di sektor pariwisata karena menurut dia bisnis tersebut sangat menjanjikan dari waktu ke waktu.
“Selama masih ada kehidupan, perjalanan pasti tetap ada. Keinginan orang bepergian semakin lama semakin meningkat, tentunya dengan berbagai alasan, salah satunya menghilangkan kepenatan,” ujarnya.
Di era digital yang marak dengan travel agent online. Tentu usaha yang telah ia rintis selama 16 tahun itu kini memiliki banyak pesaing. Namun, kata Winastra, travel agent online memiliki banyak kelemahan dibanding travel agent konvensional.
“Ketika menggunakan travel online segalanya mudah terlaksana, hemat, dan cepat. Tapi kalau ada apa-apa yang tidak sesuai kehendak enggak bisa komplain karena bekerja dengan mesin. Sedangkan kalau travel agent offline sudah pasti real dan jelas servisnya. Tidak semua orang bepergian nyaman dengan online,” katanya.
Selain itu, kata dia, yang paling nyata dari keunggulan travel agent konvensional daripada travel agent online terletak pada penyediaan jasa wisata yang tidak umum seperti travel agent online.
“Kalau online lebih banyak bekerja dengan grosir hotel-hotel besar. Sedangkan offline masih ada hal unik yang bisa kami tawarkan. Market ini masih banyak dan besar. Online itu nol servis dan instan,” ucapnya.
“Saya yakin suatu saat nanti akan ada kejenuhan dengan pelayanan online. Tidak adanya servis membuat orang kembali ke offline yang servisnya bisa lebih bagus dan nyata,” tambahnya.
Kendati demikian, untuk menghadapi pesaing-pesaing digital itu, sejak satu tahun lalu Winastra menambah divisi online di perusahaannya sebagai siasat untuk bisa tetap bertahan.
“Tidak bisa monoton di travel agent manual, tetap kami ada online. Kami punya divisi online, inilah yang kami galakkan untuk bisa penetrasi pasar di era global ini,” katanya.
“Itu cara bersiasat untuk bertahan di era globalisasi teknologi untuk bisa mengimbangi travel agent online, tapi kami real dan legal. Tidak sedikit travel agent online yang tidak berlisensi, semestinya peran pemerintah menertibkan ini,” tambahnya.
Menurut dia, dengan menambah jasa online di perusahaannya bukan hal yang mudah. Ia menjelaskan dari segi tenaga kerja dan anggaran yang dikeluarkan cukup besar. “Selain anggaran stafnya, juga biaya promosi. Ternyata promo untuk online lebih besar dari offline,” ucapnya.
BRAM SETIAWAN