TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan Indonesia masih membutuhkan investasi sebesar US$ 22 miliar (sekitar Rp 298 triliun) untuk pengembangan infrastruktur gas. Pembangunan infrastruktur ini dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
"Indonesia memiliki cadangan gas yang tersebar di beberapa wilayah, tapi belum dimanfaatkan karena terbatasnya infrastruktur," kata Direktur Jenderal Migas I.G.N. Wiratmaja Puja, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kamis, 29 Oktober 2015.
Cadangan gas Tanah Air saat ini mencapai 108 triliun kaki kubik (TCF). Stok gas yang masih besar memasukkan Indonesia ke 50 negara penghasil gas terbesar di dunia. Sayangnya, infrastruktur yang menghubungkan pusat penghasil (hulu) dengan pusat pengguna (hilir) sampai saat ini belum merata. Selama ini, infrastruktur gas hanya ada di Sumatera, Jawa, dan sebagian Kalimantan.
Wiratmaja merinci kebutuhan investasi hampir Rp 300 triliun itu, antara lain, untuk proyek pemipaan sebesar US$ 8,5 miliar, kebutuhan fasilitas liquification (pencairan) gas dan regasifikasi sebesar US$ 8 miliar, serta pembangunan SPBG sebesar US$ 400 juta dan jaringan gas kota hingga US$ 2,5 miliar. Pemerintah juga merencanakan adanya fasilitas pengolahan gas LPG. Diperkirakan kebutuhan investasi fasilitas ini sebesar US$ 1 miliar.
Kementerian ESDM mencanangkan jaringan pipa transmisi bisa terbangun pada 2018 di Sumatera sepanjang 1.661 kilometer dan pipa distribusi sepanjang 843 km. Sulawesi membutuhkan 854 km pipa transmisi dan 100 km pipa distribusi. Sedangkan di Natuna Timur dibutuhkan 1.414 km pipa transmisi.
Di Jawa pun, pembangunan infrastruktur gas perlu dilakukan, yakni 1.654 km pipa transmisi dan 1.224 km pipa distribusi. Kalimantan membutuhkan pipa transmisi 1.975 km dan pipa distribusi hingga 302 km. Untuk Maluku dan Papua, kebutuhan pipa distribusi sepanjang 244 km.
Pada 2019, kebutuhan gas bakal mencapai 9,348 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau 1,1 kali dari kebutuhan saat ini. "Indonesia memiliki banyak peluang, tapi juga banyak tantangan," kata Wiratmadja.
Sementara itu, Deputy Chairman IPA Sammy Hamzah mengatakan pemerintah masih perlu berbenah untuk menyelesaikan persoalan di luar infrastruktur, yakni harga gas. Kepada Tempo, Sammy mengemukakan rendahnya penyerapan gas dalam negeri karena harganya terlampau mahal.
Lonjakan harga gas, menurut dia, terjadi di sektor hilir. Banyak pengusaha bidang niaga gas mematok margin lebih tinggi sehingga harga jual bisa dua kali lipat dibanding harga di tingkat hulu. "Peraturan Presiden soal Tata Kelola Gas harus segera disahkan," tuturnya.
ROBBY IRFANY
Topik Terhangat: Bom di Mal Alam Sutera