TEMPO.CO, Jakarta- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan kebijakan menurunkan harga solar Rp 6.700 per liter sudah benar, meskipun ada surplus dengan harga keekonomiannya. Diketahui, harga keekonomian solar saat ini Rp 6.250 per liter. "Tidak ada yang salah dengan kebijakan ini," ujar Direktur Hili Minyak dan Gas Kementerian ESDM Setyorini Tri Hutami, Jumat, 9 Oktober 2015.
Perhitungan harga keekonomian solar dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar dan harga acuan pasar Singapura (mean of platts). Dengan skema penyesuaian harga saat ini, dua komponen tersebut dihitung agregatnya selama tiga bulan belakangan.
Menurut Rini, penetapan harga solar baru, yang diumumkan Rabu lalu memang bertujuan menambal kerugian PT Pertamina (Persero) akibat pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium. Sesuai Undang-Undang BUMN, Rini berargumen, pemerintah tidak boleh membiarkan perseroan merugi.
Beban Pertamina karena pengadaan Premium terjadi sejak Maret lalu karena tren harga minyak saat itu meningkat. Namun sejak bulan tersebut, harga BBM Premium, solar, atau minyak tanah tidak dinaikkan pemerintah, yang berargumen menjaga daya beli masyarakat.
Kamis lalu, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan kebijakan ini sudah tepat. "Presiden berpesan jangan membebani masyarakat, jangan membebani Pertamina," kata dia di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta.
Juru Bicara Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan perusahaan sedang berjuang menekan laju kerugian dengan mengurangi impor BBM dan penggunaan dolar. Langkah ditempuh dengan membeli BBM di pasar spot, melakukan lindung nilai (hedging), dan mengoptimalkan produksi Premium di kilang PT TPPI dan RFCC yang mulai beroperasi.
ROBBY IRFANY