TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menilai paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tidak banyak memberikan dampak. Hal ini terbukti dengan nilai tukar rupiah yang tetap melemah terhadap dolar.
"Masyarakat tidak merespons positif atas adanya kebijakan tersebut," kata Enny, Jumat, 11 September 2015.
Enny mengatakan nilai tukar rupiah sesaat sebelum pengumuman dibacakan, tepatnya pada Rabu, 9 September 2015, berada pada level 14.244 per dolar Amerika Serikat. Namun, sehari setelah itu, nilai tukar rupiah pun kembali melemah ke level 14.322. “Masyarakat merasakan stagnasi terhadap kebijakan kemarin karena pemerintah seperti tidak serius memulihkan ekonomi," ujarnya.
Dia berharap adanya langkah konkret pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ekonomi agar nilai rupiah kembali menguat. Sebab, menurut dia, biar bagaimanapun melemahnya rupiah sangat berpengaruh besar bagi perkembangan ekonomi di Indonesia.
"Banyak indikator untuk mengembangkan ekonomi ini, salah satunya dengan meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, faktanya, daya beli masyarakat sekarang begitu rendah karena harga-harga tidak stabil akibat melemahnya rupiah," tutur Enny.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani berharap kebijakan deregulasi ekonomi yang diumumkan Jokowi segera dirincikan. Menurut Haryadi, paket kebijakan ekonomi yang kemarin diumumkan masih bersifat umum. "Kebijakannya masih bersifat umum. Kita tidak bisa berspekulasi tentang kebijakan tersebut," ucap Haryadi, Jumat, 11 September 2015.
Meski digadang-gadang bakal menguatkan nilai tukar rupiah, pengumuman paket kebijakan deregulasi ekonomi justru memberikan dampak sebaliknya. Namun, menurut Haryadi, melemahnya nilai tukar rupiah tidak ada kaitannya dengan kebijakan yang diumumkan oleh Presiden Jokowi pada Rabu lalu. "Sebetulnya tidak ada hubungannya kebijakan ekonomi yang diumumkan Jokowi kemarin dengan pelemahan nilai tukar rupiah," ujar Haryadi.
Haryadi memaparkan beberapa alasan rupiah melemah atas dolar itu karena aktivitas ekspor yang tidak signifikan serta adanya kebutuhan dolar untuk membayar utang yang sedang meningkat. Ia menilai perlu waktu untuk menunggu dampak kebijakan ekonomi yang diumumkan kemarin. "Tidak bisa secara langsung kita rasakan dampaknya," katanya.
Karena itu, menurut Haryadi, Apindo akan menunggu apakah kebijakan tersebut akan produktif atau kontra-produktif untuk ekonomi Indonesia. "Sekarang kami sedang menunggu rincian dari kebijakan tersebut, seberapa produktif pengaruhnya untuk pemulihan ekonomi," tuturnya.
ABDUL AZIS