TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pelaksanaan asuransi kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tak syariah dianggap tak relevan. Bagi anggota Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Bambang Purnowoko, sistem BPJS Kesehatan saat ini justru lebih dari syariah.
“Pendanaannya kan dilakukan secara kolektif, dari premi yang dibayarkan. Jadi satu orang bayar untuk yang lain,” kata dia saat menjadi pembicara di diskusi mengenai Sistem Jaminan Sosial di Jakarta pada Selasa, 11 Agustus 2015.
Pungutan ini pun berlaku bagi seluruh lingkup masyarakat, tak memandang muslim atau mualaf. Maka, bagi Bambang, sistem ini justru sudah lebih dari syariah.
Menurut dia, saat ini pemerintah sebaiknya lebih fokus pada penataan realisasi sistem jaminan sosial ini. Sebab, kata dia, di lapangan, masih banyak ditemui kendala-kendala bagi masyarakat yang ingin menggunakan manfaat keanggotaan BPJS mereka. Berdasarkan hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masalah banyak menimpa pekerja informal.
"Padahal kaum ini ada di posisi borderline (antara miskin dan tak miskin), dan tinggal di kawasan kumuh yang rentan penyakit,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Sri Sunarti Purwaningsih, di kantornya, Jakarta, pada Selasa, 11 Agustus 2015. Kaum ini biasanya merupakan buruh-buruh migran yang jam kerja dan pendapatanya tak tetap, seperti asisten rumah tangga (ART).
Berdasarkan penelitian LIPI di beberapa kota seperti Bandung, Surabaya, dan Makassar, tingkat kesadaran masyarakat pekerja sektor ini masih rendah. Dari survei terakhir yang dilangsungkan di Surabaya tahun ini, hanya 35 persen ART yang sudah mendaftar jadi peserta BPJS. Di Makassar pun, dari 151 pekerja informal yang mereka wawancarai, 99 persen pun tak familiar dengan sistem jaminan sosial ini.
Bagi yang sudah awam dan terdaftar pun, realisasi sistem pencairan dana pun tak seindah yang dijanjikan. Masyarakat kerap menerima penolakan lantaran tak memiliki identitas setempat (kaum pendatang). Padahal, tercantum dalam UU SJSN kalau jaminan ini bersifat portabilitas atau berlaku universal di instansi yang bekerja sama. Masyarakat yang sudah sakit-sakitan dan dengan dana yang terbatas pun harus menempuh perjalanan ke daerah asal untuk menerima pengobatan.
“Belum lagi sistem yang bersifat per tahap dan berdasarkan rekomendasi. Masyarakat sulit mengerti dan juga kerepotan,” kata Sunarti. Ia berharap pemerintah dapat meningkatkan jaminan sosial dan perlindungan terhadap masyarakat sektor ini ke depannya, dengan memperketat pengawasan dan memastikan jaminan direalisasikan.
Namun, Bambang menilai sebaiknya pemerintah mengalokasikan para pekerja informal ini ke sektor formal. Dengan demikian, jaminan sosial mereka lebih meningkat lantaran memiliki pekerjaan serta upah yang tetap. Saat ini, jumlah pekerja informal mendominasi angkatan kerja nasional. Angkanya total mencapai 70 persen lebih, dari total 118 juta jiwa.
URSULA FLORENE SONIA