TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin, mengatakan neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2015 mengalami surplus US$0,74 miliar.
"Hal tersebut didukung oleh surplus di sektor migas dan nonmigas," ujar Suryamin di Kantor BPS Jakarta, Senin, 16 Maret 2015.
Surplus sektor migas sebesar US$0,17 miliar dan nonmigas sebesar US$0,57 miliar. Selain itu, dari sisi volume perdagangan pada Februari 2015, neraca volume perdagangan Indonesia mengalami surplus 27,61 juta ton. Hal tersebut didorong oleh surplusnya neraca sektor nonmigas sebesar 27,76 juta ton walaupun sektor migas defisit 0,15 juta ton.
Suryamin mengatakan kesimpulan dari neraca perdagangan Februari 2015 adalah surplus sebesar US$738,3 juta, yaitu dengan perhitungan ekspor sebesar US$12,29 miliar dan impor sebesar US$11,55 milar. Sedangkan untuk neraca perdagangan kumulatif dari Januari sampai Februari 2015, surplus sebesar US$ 1,48 miliar, yaitu ekspor sebesar US$25,64 miliar dan impor sebesar US$24,16 miliar.
Menurut Suryamin dengan surplusnya neraca perdagangan pada Februari ini dapat memacu surplus kembali pada bulan berikutnya. "Walau kondisi saat ini rupiah sedang terdepresiasi," kata dia. Suryamin mengatakan dengan kondisi rupiah saat ini bukan langsung dapat menjadikan ekspor naik. "Tidak selalu seperti itu, ada perhitungannya," kata dia. Hal tersebut dikarenakan perhitungan tidak hanya melibatkan harga barang yang akan diekspor tapi hal-hal lain, seperti distribusi barang, cukupnya barang, dan lainnya juga mempengaruhi.
Menanggapi mengenai delapan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menstabilisasikan nilai rupiah, Suryamin mengatakan masih belum mempelajari dengan jelas. "Saya harus pelajari dulu," ujar dia. Akan tetapi, Suryamin mengatakan akan mendukung kebijakan pemerintah untuk menjaga kestabilan nilai rupiah. "Apalagi hal yang menyangkut naikkan ekspor dan kurangi impor," ujar dia. Sehingga neraca transaksi berjalan tidak defisit dan ikut menjaga pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Suryamin yakin bahwa kondisi rupiah saat ini bergejolak dikarenakan faktor ekonomi global yang sangat dominan. "Dan terjadi juga terhadap mata uang di negara lain akibat dollar Amerika yang menguat," kata dia.
ODELIA SINAGA