TEMPO.CO, Surabaya--Pelaku Industri Kecil Menengah di bidang mebel dan kerajinan didorong agar memiliki kesadaran tentang kayu bersertifikat. Pasalnya, pada 2015 semua pelaku industri mebel dan kerajinan ditargetkan agar hanya menggunakan kayu yang memiliki sertifikasi, baik itu Forest Stewardship Council (FSC) maupun Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). "Terutama bagi mereka yang melakukan ekspor," kata Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO), Rudy T. Luwia kepada wartawan, Senin 10 November 2014.
Rudy mengakui, selama ini hanya perusahaan-perusahaan besar yang sanggup memenuhi kualifikasi tersebut. Sebab, mereka memiliki sumber daya manusia dan finansial yang kuat. "Tapi buat industri kecil dan menengah agak bermasalah." (Baca berita lainnya: Pemilik Sertifikat Legalitas Kayu Minta Insentif)
Menurutnya, hanya sekitar 30 persen perusahaan mebel di Indonesia yang tergolong besar. Sebanyak 70 persen, sisanya merupakan pelaku industri kecil yang bermasalah secara finansial dan sumber daya. "Kalau ditanya, apakah mereka siap dengan standar sertifikasi itu? Sangat tidak siap," kata Rudy.
Terhitung sejak 2013, pelaku usaha ekspor kayu maupun plywood Indonesia menghimpun kesadaran bersama akan pentingnya sertifikat FSC dan SVLK. Tujuannya mengedukasi pasar bahwa Indonesia mulai berbenah. Melalui Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Borneo Initiative, Indonesia ialah negara pertama yang menggagas kewajiban sertifikasi kayu. "Meskipun kesadaran itu karena dipaksa," imbuhnya. (Baca: Pengusaha Keluhkan Mahalnya Verifikasi Legal Kayu)
Untuk mempersiapkannya, ASMINDO mendapat dukungan dari FAO, World Bank, dan WWF agar industri kecil memperoleh sertifikasinya. Sebab, keberadaan sertifikat bagi industri kecil mebel kayu bermanfaat, agar mereka juga paham larangan menggunakan dan memperjual-belikan kayu illegal. "Kementerian Kehutanan juga sebaiknya memberikan keringanan bagi perusahaan kecil untuk memperoleh sertifikasi itu," kata dia.
Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia, Budi Hermawan menambahkan, pihaknya menjamin semua anggota telah memiliki sertifikat. Menurutnya, sertifikat tersebut membawa keuntungan sekaligus kekurangan tersendiri. Keuntungannya ialah mulai tinggi kesadaran beberapa negara seperti Eropa dalam mewajibkan sertifikat legal. "Kekurangannya, masih banyak juga negara pembeli yang praktek impornya lebih longgar," ujarnya.
Budi mengatakan, Indonesia merupakan negara yang paling siap dalam menerapkan peraturan sertifikasi itu. Sebab, dunia kini semakin peduli terhadap perubahan iklim (climate change). "Legalitas menjadi suatu keharusan. Buyer juga takut jika produk yang dia beli kelak menimbulkan masalah," kata Budi. (Baca juga: Industri Mebel Diserbu Produk Impor)
ARTIKA RACHMI FARMITA
Berita Terpopuler:
Menteri Susi Ternyata Pernah Jadi Buronan Polisi
Bank Terapung BRI Bakal Melaut di Kepulauan Seribu
Kenaikan Harga BBM Tunggu Jokowi Pulang
Siapa Saja Panitia Lelang Jabatan Dirjen Pajak ?
Isu Kenaikan BBM Dongkrak Penjualan City Car