TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia memberikan sinyal yang menyatakan larangan ekspor mineral mentah yang diterapkan sejak 2014 bakal menjadi bumerang bagi Indonesia. Alih-alih menerima keuntungan dari proses hilirisasi mineral, Indonesia diperkirakan akan menderita kerugian. (Baca: Pemerintah Konsisten Larang Ekspor Mineral Mentah).
Dalam paparan Indonesia Economic Quarterly di Intercontinental Hotel Jakarta, Selasa, 18 Maret 2014, Ekonom Utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta, Jim Brumby, mengatakan ada tiga aspek dalam larangan ekspor mineral yang bakal menjadi bumerang bagi Indonesia. (Baca: Wamen ESDM: Freeport Mau Tutup Tambang? Silakan!).
Kesalahan pertama adalah asumsi bahwa pelarangan ekspor mineral mentah akan merangsang munculnya investasi baru dalam bentuk pembangunan smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. (Baca: Kisruh Ekspor Mineral, Asosiasi Ajukan Uji Materi).
Brumby mengatakan kebenaran asumsi ini bergantung pada pangsa Indonesia secara global dalam produksi bijih mineral. Jika infrastruktur pendukung smelter tidak layak, akan ada tekanan untuk meminta subsidi pemerintah. Bank Dunia mengatakan sejumlah pengusaha mineral kini meminta bantuan finansial dari pemerintah untuk membangun smelter. Hal ini menjadi beban baru bagi pemerintah. (Baca: Janji Bangun Smelter, Freeport Tak PHK Karyawan).
Kesalahan kedua adalah asumsi bahwa pembangunan smelter akan mendorong nilai tambah mineral yang diekspor. Pada kenyataannya, kata Brumby, pemrosesan mineral membutuhkan input yang bersifat intensif, terutama dalam bentuk energi listrik. "Sehingga nilai tambah yang sesungguhnya jauh di bawah selisih harga pasar bijih logam dengan mineral yang sudah diproses," katanya.
Kesalahan ketiga adalah asumsi bahwa larangan ekspor mineral mentah bisa memberikan kekuatan pada Indonesia untuk mengendalikan harga. Dengan kekuatan ini, pemerintah membidik pendapatan pajak dan royalti yang lebih tinggi. Namun, kata Brumby, selain untuk nikel, Indonesia tidak memiliki kekuatan di pasar global untuk mengendalikan harga mineral. Walhasil, asumsi tadi bakal menjadi bumerang. (Baca: Pemerintah Pesimistis Ekspor 2014 Membaik).
Brumby mengatakan larangan ekspor mineral akan mengganggu neraca perdagangan Indonesia. Bank Dunia menaksir Indonesia kehilangan pendapatan US$ 12,5 miliar akibat kebijakan tersebut pada 2014. Selain itu, kata Brumby, ada gangguan dalam penerimaan fiskal yang berasal dari royalti, pajak ekspor, serta pajak penghasilan badan sebesar US$ 6,5 miliar dalam tiga tahun mulai 2014.
MARIA YUNIAR
Berita Terpopuler
Inikah 'Pilot Bayangan' dalam Penerbangan MH370?
Mengapa Sinyal Darurat Malaysia Airlines Tak Aktif
Anggun dan Andien di Pernikahan Anak Sekretaris MA
Kopilot MH370 Berencana Nikahi Pilot AirAsia