TEMPO.CO, Surakarta - Nilai ekspor Kota Surakarta (atau biasa disebut Kota Solo) sepanjang 2013 turun drastis jika dibandingkan kinerja ekspor pada 2012. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta menunjukkan nilai ekspor pada 2012 mencapai US$ 40,3 juta dengan total berat 5,8 juta kilogram. Tapi untuk 2013, nilai ekspor turun 8 persen menjadi US$ 37 juta dengan berat barang 4,4 juta kilogram.
Penurunan ekspor terutama terjadi pada mebel kayu dan tekstil dan produk tekstil. Pada 2012, nilai ekspor mebel kayu mencapai US$ 3 juta, tapi pada 2013 merosot menjadi US$ 1,6 juta. Untuk tekstil dan produk tekstil, pada 2012 tercatat US$ 21,3 juta dan pada 2013 turun menjadi US$ 18 juta.
Mebel kayu, tekstil dan produk tekstil, dan batik selama ini menjadi unggulan ekspor Surakarta. Batik mencatat kinerja positif, yaitu naik dari US$ 10,4 juta di 2012 menjadi US$ 12,3 juta di 2013.
Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta Endang Maharani mengatakan ekspor turun karena perekonomian global masih lesu. “Eksportir kita masih mengandalkan pasar tradisional, yang saat ini ekonominya tengah lesu,” ujarnya kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis, 16 Januari 2014.
Pasar tradisional produk ekspor Surakarta seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Belanda, Jerman, Perancis. Sedangkan pasar baru seperti Uni Emirat Arab, Jepang, Korea Selatan, dan Cina belum digarap maksimal.
Di tengah kelesuan perekonomian dunia, dia mengatakan masih ada sedikit peluang untuk meningkatkan nilai ekspor. Yaitu dengan mundurnya penerapan kebijakan kepemilikan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang awalnya akan diterapkan per 1 Januari 2014. “Sebelum diberlakukan, eksportir bisa menggenjot ekspor mebel ke Uni Eropa,” katanya. SVLK mensyaratkan eksportir punya sertifikat yang memastikan bahan baku mebel bukan dari kegiatan ilegal.
Wakil Ketua Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Tangan Indonesia (Asmindo) Solo, Adi Darma Santoso mengakui ada penurunan ekspor mebel kayu. Tapi dia mengatakan hal itu diimbangi dengan naiknya ekspor mebel rotan.“Saat ini harga bahan baku mebel rotan lebih murah dari mebel kayu. Sehingga banyak konsumen yang memilih produk mebel dari rotan,” ucapnya.
Humas Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Tengah Liliek Setiawan mengakui ekspor tekstil dan produk tekstil turun. Dia menilai penurunan lebih karena kelesuan pasar. “Hanya di akhir tahun ekspor membaik untuk tujuan Amerika, Eropa, dan Jepang,” katanya.
Dia menilai produk tekstil Indonesia sejatinya mampu bersaing di pasar global. Sebab industri tekstil sudah terintegrasi mulai hulu sampai hilir. “Saingan kita seperti Vietnam, belum terintegrasi. Meski upah buruh di sana lebih murah,” ucapnya.
Kelemahan ekspor Indonesia, kata Liliek, adalah soal infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan. Dia mengatakan banyak peluang ekspor yang terbuang karena barang terhambat kemacetan atau menunggu antrean di pelabuhan.
UKKY PRIMARTANTYO (SOLO)
Terpopuler :
Djoko Kirmanto: Jokowi Jangan Ambil Wewenang Pusat
Tren Baru Pengaduan Sengketa Nasabah dan Perbankan
Produk Perajin Kecil Yogya Banyak Dijiplak
Ditolak Merger, SCTV Ajukan Gugatan ke Pengadilan
Sengketa TPI, Tutut Minta Hary Tanoe Taat Hukum