TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah khawatir konsumsi beras yang tinggi oleh masyarakat Indonesia bisa mengancam ketahanan pangan nasional. Kekhawatiran ini muncul dari tingginya konversi lahan dan peningkatan laju pertumbuhan penduduk.
"Untuk antisipasi kekurangan pangan ke depan, kini telah muncul inovasi dan kreativitas dari hasil penelitian untuk membuat beras analog. Inovasi ini harus terus didorong," ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Achmad Suryana, dalam Dialog Publik "Beras Analog untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan" di Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 26 Maret 2013.
Beras analog merupakan beras yang terbuat dari pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung, dan singkong. Selama ini masyarakat terbiasa mengkonsumsi beras yang berasal dari tanaman padi. Dengan beras analog ini, Suryana melanjutkan, diharapkan mampu memberi kontribusi dalam mengatasi ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Contoh beras analog, misalnya, terbuat dari campuran bahan dasar tepung singkong yang sudah dimodifikasi atau dikenal sebagai Mocaf (Modified Cassaca Flour). Beras analog juga bisa terbuat dari capuran tepung jagung, tepung sorgum, dan tepung sagu.
Achmad Suryana menjelaskan, Indonesia akan menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang masih bergantung pada beras. "Konversi lahan pertanian cukup tinggi, yakni 70 sampai 100 ribu hektare dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,94 persen per tahun," ujarnya.
Padahal, kata dia, masyarakat membutuhkan pangan yang sehat, bergizi dan seimbang. Sayangnya, dengan ancaman konversi lahan tersebut, konsumsi beras di Indonesia masih tergolong paling tinggi dibandingkan dengan negara lain.
Tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia pada 2011 tercatat mencapai 102 kilogram per kapita per tahun. Angka konsumsi beras ini paling tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi di Korea sebesar 40 kilogram per kapita per tahun, Jepang 50 kilogram per kapita per tahun, Malaysia 80 kilogram per kapita per tahun, dan Thailand 70 kilogram per kapita per tahun. Bahkan, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kilogram per kapita per tahun.
Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Sri Sulihanti, menambahkan pemerintah berupaya menurunkan konsumsi beras minimal sebesar 1,5 persen per kapita per tahun melalui diversifikasi pangan. Menurut dia, tantangan dalam mengubah pola konsumsi pangan dari padi-padian masih menghadapi kendala.
"Tantangan yang masih kami hadapi, di antaranya masih rendahnya tingkat konsumsi pangan sumber protein, vitamin, dan mineral. Sumber energi masih didominasi beras," kata Sri.
Ia menambahkan, diperlukan kerja sama dengan dunia usaha dalam mengembangkan diversifikasi pangan berbasis bahan baku pangan lokal. Pangan lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti beras dan tepung terigu, di antaranya aneka umbi, jagung, dan sagu.
ROSALINA