TEMPO.CO, Jakarta - Melemahnya bursa Eropa dan terhentinya kenaikan indeks Dow Jones dapat memberikan sentimen negatif bagi perdagangan bursa Jakarta maupun bursa Asia lainnya. Ancaman akan tingginya angka inflasi bulan ini akibat naiknya harga bawang dan kenaikan tarif daya listrik pada triwulan kedua dapat menjadi ganjalan bagi pergerakan indeks lokal.
Aksi ambil untung yang dilakukan para investor pekan lalu menghentikan langkah indeks harga saham gabungan (IHSG) menuju target berikutnya, 4.900. Harga-harga saham unggulan yang sudah cukup mahal karena sudah naik terlalu kencang dijadikan alasan oleh sebagian para pemodal merealisasi keuntungan yang sudah diperoleh.
Akhir pekan lalu, indeks ditutup menguat 32,957 poin (0,69 persen) ke posisi 4.819,324 karena didorong oleh naiknya harga saham unggulan di sektor industri dasar. Namun, secara akumulasi sepekan, IHSG masih mencatat penurunan 55,17 poin (1,13 persen) dari posisi pekan sebelumnya di 4.874,495, yang juga merupakan level tertinggi sepanjang sejarah bursa.
Analis dari PT Sinarmas Sekuritas, Christandi Rheza Mihardja, mengatakan, Jumat lalu, indeks berhasil menguat karena didukung oleh naiknya saham sektor industri dasar sebesar 2,6 persen, yang dimotori oleh sektor semen dan peternakan sehingga membuat indeks kembali di atas 4.800. Dari faktor global, “menurunnya angka pengangguran dan naiknya data penjualan retail Amerika Serikat memberikan sinyal adanya pemulihan ekonomi negara dengan perekonomian terbesar di dunia,” katanya.
Awal perdagangan pekan ini, Christandi memprediksi, indeks berpeluang melanjutkan kenaikan walau agak terbatas, dengan kisaran 4.782-4.830. Adapun saham yang dapat diperhatikan investor, antara lain Tiphone Mobile Indonesia (TELE), Adi Sarana Armada (ASSA), Perusahaan Gas Negara (PGAS), serta Media Nusantara Citra (MNCN).
PDAT | VIVA B. K